Dialog Yohanes dengan Ulama Mazhab Yang Empat (Bagian 1)
Dialog
ini merupakan dialog yang indah. Para pembaca hendaknya merenungi
berbagai hujjah yang kokoh dan bijaksana yang terdapat dalam dialog ini.
Saya menukil dialog ini dari kitab Munadzarah fi al-Imamah, karya Abdullah Hasan.
Yohanes berkata, “Ketika saya melihat berbagai perselisihan di kalangan para sahabat besar, yang nama-nama mereka disebut bersama nama Rasulullah di atas mimbar, hati saya menjadi resah dan gelisah, dan hampir saya mendapat musibah dalam agama saya. Maka saya pun bertekad untuk pergi ke Baghdad, yang merupakan kubah Islam, untuk menanyakan berbagai perselisihan yang terjadi di antara para ulama kaum Muslimin yang saya lihat, supaya saya dapat mengetahui kebenaran dan mengikutinya. Ketika saya berkumpul dengan para ulama dari mahzab yang empat saya berkata kepada mereka, `Saya adalah seorang dzimmi, dan Allah Swt telah menunjukkan saya kepada Islam, maka saya pun memeluk Islam. Sekarang, saya datang kepada Anda untuk mendapatkan ajaran agama, syariat Islam dan hadis dari Anda, supaya bertambah pengetahuan saya di dalam agama.`
Yang tertua dari mereka yang merupakan seorang ulama Hanafi berkata, `Wahai Yohanes, mahzab Islam itu ada empat. Oleh karena itu pilihlah salah satu darinya, dan kemudian mulailah baca kitab yang kamu kehendaki.`
Saya berkata kepadanya, `Saya melihat terdapat perselisihan, namun saya tahu bahwa kebenaran ada pada salah satu di antaranya. Maka oleh karena itu, pilihkanlah bagi saya menurut yang Anda ketahui kebenaran sebagimana yang dipegang oleh Nabi Anda.`
Ulama Hanafi itu berkata, `Sesungguhnya kami tidak mengetahui dengan pasti kebenaran mana yang dipegang oleh Nabi kami, namun kami yakin bahwa jalannya tidak keluar dari salah satu kelompok Islam yang ada. Masing-masing dari kami yang empat mengatakan bahwa kamilah yang benar namun mungkin juga salah. Masing-masing mereka juga mengatakan bahwa selainnya salah namun mungkin juga benar. Singkatnya, sesungguhnya mahzab Hanafi adalah mahzab yang paling dekat dan paling sesuai dengan sunah. Mahzab yang paling masuk akal dan mahzab yang paling tinggi di kalangan manusia. Mahzab Hanafi adalah mahzab yang paling banyak dipilih oleh umat, dan bahkan mahzab pilihan para sultan. Kamu harus berpegang kepadanya, niscaya kamu selamat.`”
Yohanes berkata, “Maka berteriaklah ulama dari mahzab Syafi`i, dan saya kira terdapat perselisihan di antara Syafi`i dan Hanafi. Imam Mahzab Syafi`i itu berkata kepada ulama Hanafi tersebut, `Diam, jangan kamu bicara. Demi Allah, kamu telah membual dan telah berdusta. Dari mana kamu mengistimewakan suatu mahzab atas mahzab-mahzab yang lain, dan dari mana kamu menguatkan (tarjih) seorang mujtahid atas mujtahid-mujtahid yang lain? Celaka kamu. Di mana kamu telah mempelajari apa yang telah dikatakan oleh Abu Hanifah, dan apa-apa yang diqiyaskan dengan ra`yunya? Sesungguh-nya dia (Abu Hanifah)lah orang yang disebut dengan sebutan `tuan ra`yu`, yang berijtihad dengan sesuatu yang bertentangan dengan nas, yang menggunakan istihsan di dalam agama Allah.
Sampai-sampai dia meletakkan pendapatnya yang lemah dan mengatakan, `Jika seorang laki-laki yang berada di India menikahi seorang wanita yang ada di Romawi dengan akad syar`i. Lalu, setelah beberapa tahun kemudian laki-laki itu mendatangi istrinya dan mendapatinya dalam keadaan hamil dan meggendong anak. Laki-laki itu bertanya kepada istrinya, `Siapa mereka ini?` Wanita itu menjawab, `Anak-anakmu`. Kemudian laki-laki itu mengadukan masalah itu kepada seorang qadhiHanafi, maka qadhi Hanafi itu akan menetapkan bahwa anak-anak tersebut adalah berasal dari tulang sulbinya, dan dinisbahkan kepadanya baik secara zahir maupun secara batin. Dia mewariskan kepada merela dan mereka pun mewariskan kepadanya.` Laki-laki itu protes bagaimana mungkin, padahal saya belum pernah menyentuhnya sama sekali?` Maka qadhi Hanafi itu menjawab, `Mungkin saja Anda pernah berjunub, atau Anda pernah keluar mani lalu air mani Anda terbang dan jatuh ke dalam kemaluan wanita ini.`[1] Wahai Hanafi, apakah ini sesuai dengan Kitab dan sunah?`”
Ulama Hanafi menjawab, `Benar, anak-anak itu dinisbahkan kepa-danya. Karena wanita itu adalah tempat tidurnya, dan tempat tidur dinisbahkan kepada seorang laki-laki melalui akad syar`i, serta tidak disyaratkan harus adanya jimak. Rasulullah Saw telah bersabda, `Anak milik tempat tidur (istri), sedangkan batu milik pelacur.` Ulama Syafi`i itu tetap bersikeras menolak terjadinya tempat tidur dengan tanpa jimak, dan dia pun berhasil mengalahkan ulama Hanafi di atas dengan berbagai hujjah yang dikeluarkan.
Ulama Syafi`i berkata lebih lanjut, `Abu Hanifah juga berkata, `Jika seorang wanita dibawa ke rumah suaminya, lalu seorang laki-laki lain menggaulinya. Kemudian laki-laki lain itu mengaku di hadapan qadhiHanafi bahwa dirinya telah menikahi wanita tersebut sebelum wanita itu dinikahi oleh laki-laki yang membawanya kerumahnya, lalu laki-laki yang mengaku itu mengajukan dua orang fasik untuk memberikan kesaksian palsu atas pengakuannya itu. Maka qadhi Hanafi itu akan memutuskan bahwa wanita itu haram bagi suaminya yang pertama (yang membawa ke rumahnya) baik secara zahir maupun batin, tertetapkannya ikatan pernikahan di antara wanita itu dengan laki-laki yang kedua, dan wanita itu halal baginya baik secara zahir maupun batin`[2] Lihatlah, wahai manusia, apakah ini mahzab orang yang mengenal kaidah-kaidah Islam?`
Ulama Hanafi itu berkata, `Anda tidak berhak mengkritik. Karena dalam pandangan kami hukum qadhiberlaku baik secara zahir maupun batin, dan ini merupakkan cabang darinya.` Ulama Syafi`i berhasil mengalahkannya, dan melarang berlakunya hukum qadhi baik secara zahir maupun batin dengan firman Allah Swt yang berbunyi,
`Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah` (QS. Al-Maidah: 49)
Ulama Syafi`i berkata, `Abu Hanifah telah berkata, `Jika seorang laki-laki gaib dari istrinya, dan terputus kabar mengenainya, lalu datang seorang laki-laki lain berkata kepada wanita itu, `Sesungguhnya suami kamu telah mati, maka oleh karena itu tinggalkanlah dia.` Lalu wanita itu pun meninggalkan suaminya yang gaib itu. Kemudian, setelah habis masa iddah, datanglah seorang laki-laki menikahinya dan menggaulinya, dan kemudian wanita itu melahirkan beberapa anak. Setelah itu, laki-laki yang kedua gaib, dan kemudian laki-laki yang pertama muncul di sisi wanita itu, maka seluruh anak dari laki-laki yang kedua menjadi anak dari laki-laki yang pertama. Dia menerima waris dari mereka dan mereka menerima waris darinya.`[3]
Wahai orang-orang yang berakal, apakah orang yang pandai dan mengerti akan mau berpegang kepada perkataan ini?`
Ulama Hanafi menjawab, `Abu Hanifah mengambil perkataan ini dari sabda Rasulullah Saw yang berbunyi, `Anak milik ranjang (istri) dan batu milik pelacur.` Maka ulama Syafi`i memprotes dengan menga-takan bahwa istri disyarati dengan adanya dukhul (disetu-buhi), dan dia mampu mengalahkan ulama Hanafi.
Kemudian ulama Syafi`i berkata, `Imam kamu Abu Hanifah telah berkata, `Laki-laki mana saja yang melihat seorang wanita Muslim, lalu dia mengklaim bahwa suami wanita tersebut telah menceraikannya, dan kemudian dia mendatangkan dua orang saksi yang memberikan kesaksian palsu yang mengutungkan baginya, maka qadhi memutuskan terjadinya talak atas wanita tersebut, dan wanita itu menjadi haram bagi suaminya, sehingga dengan begitu boleh laki-laki yang mengklaim itu menikahinya, dan begitu juga bagi saksi.`[4] Dia menyangka hukum qadhi berlaku baik secara zahir maupun batin.`
Ulama Syafi`i melanjutkan kata-katanya, `Imam kamu Abu Hanifah mengatakan, `Jika empat orang laki-laki bersaksi bahwa seorang laki-laki telah berzina, jika laki-laki itu membenarkan mereka maka gugurlah hadd (hukuman), namun jika dia menyangkal mereka maka tertetapkanlah hukuman baginya.`[5] Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki penglihatan.`
Kemudian ulama Syafi`i berkata lagi, `Abu Hanifah telah berkata, `Jika seorang laki-laki mensodomi seorang anak laki-laki dan kemudian membenamkannya, maka tidak ada hadd baginya kecuali hanya ditegur.`[6]
Padahal Rasulullah Saw telah bersabda, `Barang-siapa yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelakunya (al-fa`il) dan orang yang menjadi obyeknya (al-maf`ul).`[7] Abu Hanifah berkata, `Jika seorang meramas biji gandum lalu dia menggilingnya, maka biji gandum itu menjadi miliknya karena telah menggilingnya. Jika kemudian pemilik gandum itu hendak mengambil biji gandum yang telah digiling itu dengan cara memberikan upah menggiling kepada yang merampas, maka wajib bagi orang yang merampas itu memenuhi permintaannya dan dia boleh menolaknya. Jika pemilik gandum itu terbunuh maka darahnya terbuang dengan sia-sia, sedangkan jika perampas itu terbunuh maka pemilik gandum itu harus dibunuh karena telah membunuhnya.` [8]
Abu Hanifah juga berkata, `Jika seorang pencuri mencuri seribu dinar dari seseorang lalu dia juga mencuri seribu dinar berikutnya dari yang lain, kemudian dia menggabung-kannya, maka semuanya menjadi miliknya, namun dia wajib memberi ganti atasnya.`
Abu Hanifah juga berkata, `Jika seorang Muslim yang bertakwa dan berilimu membunuh seorang kafir yang bodoh maka orang Muslim itu wajib dibunuh. Karena Allah Swt telah berfirman, `Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman` (QS. An-Nisa: 141)
Abu Hanifah berkata, `Jika seseorang membeli ibunya atau saudara perempuannya, lalu dia menikahi keduanya, maka tidak berlaku hukuman (hadd) atasnya, meskipun dia mengetahui dan sengaja melakukannya.`[9]
Abu Hanifah berkata, `Jika seseorang menikahi ibu dan saudara perempuannya dalam keadaan dia mengetahui bahwa mereka itu adalah ibu dan saudara perempuannya, dan kemudian dia menggauli mereka, maka tidak ada hukuman baginya, disebabkan akad nikah tersebut akad syubhat.`[10]
Abu Hanifah berkata, `Jika seseorang tidur dalam keadaan junub di sisi kolam yang berisi minuman keras, lalu dia berbalik di dalam tidurnya dan kemudian jatuh ke dalam kolam, maka hilang junubnya dan dia menjadi suci.`
Abu Hanifah juga berkata, `Tidak wajib niat dalam wudhu[11], dan juga di dalam mandi.`[12] Padahal di dalam kitab shahih disebutkan, `Sesungguhnya amal perbuatan itu (terlaksana) dengan niat.`[13]
Abu Hanifah berkata, `Tidak wajib membaca basmalah di dalam Fatihah`[14], dan dia mengeluarkannya dari Surat al-Fatihah, padahal para khalifah telah menuliskannya di dalam mushaf-mushaf setelah dilakukan pengeditan terhadap Al-Qur`an.
Abu Hanifah juga berkata, `Jika bangkai anjing yang sudah mati diambil kulitnya, lalu kulitnya itu disamak, maka kulit anjing itu menjadi suci, meskipuin digunakan untuk tempat minum dan hamparan di dalam shalat.`[15] Ini bertentangan dengan nas yang me-nyatakan najisnya `ain najasah, yang berarti haramnya pemanfaatannya.`
Kemudian ulama Syafi`i itu berkata, `Wahai Hanafi, di dalam mahzabmu seorang Muslim tatkala hendak shalat boleh berwudhu dengan menggunakan minuman keras, dan memulainya dengan membasuh kaki dan mengakhirinya dengan membasuh kedua ta-ngan.[16] Kemudian memakai pakaina yang terbuat dari kulit bangkai anjing yang telah disamak,[17] sujud di atas kotoran yang telah mongering, bertakbir dengan menggunakan bahasa India, membaca surat al-Fatihah dengan bahasa Ibrani[18], dan setelah surat al-Fatihah membaca `du barghe sabz` –yaitu kata mudhammatam (dua daun hijau), kemudian ruku` lalu tidak mengangkat kepalanya dari ruku` melainkan langsung sujud, serta dua sujud hanya dipisah dengan jeda waktu yang sangat tipis tidak ubahnya seoerti pemisah di antara dua mata pedang. Dan apabila sebelum salam dia sengaja buang angin maka shalatnya sah, namun jika tidak sengaja buang angin maka shalatnya batal.`[19]
Ulama Syafi`i berkata, `Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki penglihatan. Apakah seseorang boleh beribadah dengan ibadah yang seperti ini? Apakah boleh bagi Nabi Saw memerintahkan umatnya dengan ibadah yang seperti ini, yang tidak lain hanya merupakan kebohongan yang dibuat-buat atas Allah Swt dan Rasul-Nya?`
Ulama Hanafi membantah, dan dengan penuh emosi dia berkata, `Berhenti! Wahai Syafi`i. Semoga Allah merobek mulutmu. Kamu kira kamu ini siapa sehingga berani mengecam Abu Hanifah, mahzab kamu lebih layak disebut mahzab majusi. Karena di dalam mahzabmu seorang laki-laki boleh menikahi anak perempuan dan saudara perempuannya hasil zina, dan boleh mengumpulkan dua orang saudara perempuan hasil zina, dan begitu juga boleh menikahi ibunya hasil zina, begitu juga bibinya hasil zina.[20] Padahal Allah Swt telah berfirman,
`Diharamkan atas kamu menikahi ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan bapakmu dan saudara-saudara perempuan ibumu.` (QS. An-Nisa: 23)
Sifat-sifat hakiki ini tidak berubah dengan terjadinya perubahan syariat dan agama. Jangan kamu mengira, wahai Syafi`i, wahai dungu, bahwa terlarangnya mereka dari menerima waris berarti mengeluarkan mereka dari sifat-sifat hakiki ini. Oleh karena itu sifat-sifat tersebut di-idhafahkan kepadanya, sehingga dikatakan `anak perempuan dan saudara perempuannya deari hasil zina`. Pembatasan (taqyid) ini tidak menyebabkannya menjadi majazi (kiasan), sebagaimana kata-kata kita yang berbunyi, `saudara perempuan-nya yang berasal dari nasab`, melainkan hanya memerinci. Sesungguhnya pengharaman di atas mencakup segala sesuatu yang terkena lafaz di atas, baik yang hakiki maupun majazi, berdasarkan kesepakatan. Berdasarkan kesepakatan, nenek termasuk ke dalam kategori ibu, dan begitu juga cucu perempuan dari anak perempuan, maka oleh karena itu tidak diragukan haramnya keduanya dinikahi berdasarkan ayat ini. Perhatikanlah, wahai orang-orang yang berpikir, bukankah mahzab ini tidak lain mahzab Majusi.
Hai Syafi`i, Imam kamu membolehkan manusia bermain catur,[21] padahal Rasulullah Saw telah bersabda, `Tidak menyukai permainan catur kecuali seorang penyembah berhala.`
Hai Syafi`i, Imam kamu membolehkan berjoged, memukul rebana dan meniup seruling[22] bagi manusia. Allah memburukkan mahzabmu, di mana di dalamnya deorang laki-laki menikahi ibu dan saudara perempuannya, bermain catur, berjoged dan memukul rebana. Tidaklah ini semua kecuali kebohongan yang dibuat-buat atas Allah Swt dan Rasul-Nya Saw Tidak akan ada orang yang berpegang kepada mahzab ini kecuali orang yang buta hatinya dari kebenaran.`”
Yohanes berkata, “Perdebatan panjang terjadi di antara mereka berdua, lalu ulama Hanbali membela ulama Syafi`i sedangkan ulama Maliki membela ulama Hanafi, sehingga terjadilah perselisihan di antara ulama Maliki dan Hanbali. Ulama Hanbali berkata, `Se-sungguhnya Malik telah membuat suatu bid`ah di dalam agama, yang karena bid`ah itu Allah Swt telah membinasakan umat-umat terdahulu, namun Malik malah membolehkannya. Yaitu perbuatan mensodomi hamba sahaya. Padahal Rasulullah Saw telah bersabda, `Barangsiapa yang menyodomi budak laki-laki, maka bunuhlah pelaku (al-fa`il) dan orang yang menjadi objeknya (al-maf`ul).`[23]
Saya pernah melihat seorang bermahzab Maliki mengadukan seseorang kepada qadhi, bahwa dia telah menjual budak laki-laki kepadanya namun budak itu tidak dapat digauli. Maka qadhi itu memutuskan ada kekurangan pada budak laki-laki itu, dan oleh karena itu pembelinya dapat mengembalikannya kembali kepada penjualnya. Apakah kamu tidak malu kepada Allah Swt, hai Maliki, mempunyai mahzab yang seperti ini, sementara kamu mengaku-ngaku bahwa mahzabmu adalah sebagus-bagusnya mahzab?! Imam kamu menghalalkan daging anjing. Allah pasti memburukkan mahzab dan keyakinanmu.`
Dengan serta merta ulama Maliki menghardik dan berteriak, `Diam kamu, hai mujassim (orang yang mengatakan Allah berjisim). Justru mahzab kamu yang lebih layak untuk dilaknat dan dijauhi. Karena dalam pandangan Imam kamu, Ahmad bin Hanbal, Allah itu jisim yang duduk di `arasy. Pada setiap malam Jumat Allah Swt turun dari langit dunia keatap-atap mesjid dalam bentuk wajah yang tidak berjanggut, rambut yang keriting, mempunyai dua sandal yang talinya terbuat dari bunga kurma, serta mengenda-rai keledai yang diiringi beberapa serigala`”[24]
Yohanes berkata, “Maka terjadilah perselisihan antara Hanbali dengan Maliki serta Syafi`i dengan Hanafi. Mereka saling meninggikan suara mereka dan menelanjangi keaiban mereka masing-masing, hingga menjengkelkan semua orang yang mendengarkan perbincangan mereka, lalu orang-orang yang hadir pun mencela dan mengecam mereka.
Lalu saya berkata kepada mereka, `Demi Allah, saya bersumpah, saya tidak senang dengan keyakinan-keyakin Anda. Jika Islam benar sebagaimana yang Anda katakana, maka sungguh celaka. Demi Allah, saya bersumpah kepada Anda, supaya Anda menutup pembahasan ini dan pergi. Karena sekarang masyarakat umum telah mencela dan mengecam Anda.”
Yohanes berkata, `Maka mereka pun berdiri, lalu berpisah dan kemudian tidak keluar dari rumah masing-masing selama seminggu. Tatkala mereka keluar rumah, masyarakat mengecam mereka.
[Dikutip dari buku; “Kebenaran Yang Hilang” karya Syeikh Mutashim Sayyid Ahmad]
Foot note:
[1] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 4, hlm 14-15.
[2] Al-Umm, asy-Syafi’i, jld 5, hlm 22-25.
[3] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 5, hlm 119.
[4] Tarikh Baghdad, jld 13, hlm 370.
[5] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 5, hlm 129.
[6] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 5, hlm 141.
[7] Al-Mustadrak, al-Hakim, jld 4, hlm 355; Kanz al-‘Ummal, jld 5, hlm 340, hadis 13129.
[8] Al-Fatawa al-Khairiyyah, jld 2, hlm 150.
[9] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 5, hlm 123.
[10] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 5, hlm 123.
[11] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 1, hlm 63.
[12] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 5, hlm 117.
[13] Musnad Ahmad, jld, 1, hlm 25; Hilyah al-Awliya, jld 6, hlm 342; as-Sunan al-Kubra, Baihaqi, jld 1, hlm 41.
[14] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 1, hlm 242.
[15] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 1, hlm 26.
[16] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 1, hlm 68; Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hlm 37.
[17] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 1, hlm 26.
[18] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 1, hlm 230.
[19] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 1, hlm 307.
[20] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 5, hlm 134.
[21] Al-Umm, asy-Syafi’i, jld 6, hlm 208; al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jld 5, hlm 566.
[22] Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jld 7, hlm 128.
[23] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 5, hlm 140.
[24] Al-Imam ash-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba’ah, jld 2, hlm 509; Musnad Ahmad bin Hanbal, jld 1, hlm 120 dan hlm 446; Turmudzi, jld 1, hlm 142.
Yohanes berkata, “Ketika saya melihat berbagai perselisihan di kalangan para sahabat besar, yang nama-nama mereka disebut bersama nama Rasulullah di atas mimbar, hati saya menjadi resah dan gelisah, dan hampir saya mendapat musibah dalam agama saya. Maka saya pun bertekad untuk pergi ke Baghdad, yang merupakan kubah Islam, untuk menanyakan berbagai perselisihan yang terjadi di antara para ulama kaum Muslimin yang saya lihat, supaya saya dapat mengetahui kebenaran dan mengikutinya. Ketika saya berkumpul dengan para ulama dari mahzab yang empat saya berkata kepada mereka, `Saya adalah seorang dzimmi, dan Allah Swt telah menunjukkan saya kepada Islam, maka saya pun memeluk Islam. Sekarang, saya datang kepada Anda untuk mendapatkan ajaran agama, syariat Islam dan hadis dari Anda, supaya bertambah pengetahuan saya di dalam agama.`
Yang tertua dari mereka yang merupakan seorang ulama Hanafi berkata, `Wahai Yohanes, mahzab Islam itu ada empat. Oleh karena itu pilihlah salah satu darinya, dan kemudian mulailah baca kitab yang kamu kehendaki.`
Saya berkata kepadanya, `Saya melihat terdapat perselisihan, namun saya tahu bahwa kebenaran ada pada salah satu di antaranya. Maka oleh karena itu, pilihkanlah bagi saya menurut yang Anda ketahui kebenaran sebagimana yang dipegang oleh Nabi Anda.`
Ulama Hanafi itu berkata, `Sesungguhnya kami tidak mengetahui dengan pasti kebenaran mana yang dipegang oleh Nabi kami, namun kami yakin bahwa jalannya tidak keluar dari salah satu kelompok Islam yang ada. Masing-masing dari kami yang empat mengatakan bahwa kamilah yang benar namun mungkin juga salah. Masing-masing mereka juga mengatakan bahwa selainnya salah namun mungkin juga benar. Singkatnya, sesungguhnya mahzab Hanafi adalah mahzab yang paling dekat dan paling sesuai dengan sunah. Mahzab yang paling masuk akal dan mahzab yang paling tinggi di kalangan manusia. Mahzab Hanafi adalah mahzab yang paling banyak dipilih oleh umat, dan bahkan mahzab pilihan para sultan. Kamu harus berpegang kepadanya, niscaya kamu selamat.`”
Yohanes berkata, “Maka berteriaklah ulama dari mahzab Syafi`i, dan saya kira terdapat perselisihan di antara Syafi`i dan Hanafi. Imam Mahzab Syafi`i itu berkata kepada ulama Hanafi tersebut, `Diam, jangan kamu bicara. Demi Allah, kamu telah membual dan telah berdusta. Dari mana kamu mengistimewakan suatu mahzab atas mahzab-mahzab yang lain, dan dari mana kamu menguatkan (tarjih) seorang mujtahid atas mujtahid-mujtahid yang lain? Celaka kamu. Di mana kamu telah mempelajari apa yang telah dikatakan oleh Abu Hanifah, dan apa-apa yang diqiyaskan dengan ra`yunya? Sesungguh-nya dia (Abu Hanifah)lah orang yang disebut dengan sebutan `tuan ra`yu`, yang berijtihad dengan sesuatu yang bertentangan dengan nas, yang menggunakan istihsan di dalam agama Allah.
Sampai-sampai dia meletakkan pendapatnya yang lemah dan mengatakan, `Jika seorang laki-laki yang berada di India menikahi seorang wanita yang ada di Romawi dengan akad syar`i. Lalu, setelah beberapa tahun kemudian laki-laki itu mendatangi istrinya dan mendapatinya dalam keadaan hamil dan meggendong anak. Laki-laki itu bertanya kepada istrinya, `Siapa mereka ini?` Wanita itu menjawab, `Anak-anakmu`. Kemudian laki-laki itu mengadukan masalah itu kepada seorang qadhiHanafi, maka qadhi Hanafi itu akan menetapkan bahwa anak-anak tersebut adalah berasal dari tulang sulbinya, dan dinisbahkan kepadanya baik secara zahir maupun secara batin. Dia mewariskan kepada merela dan mereka pun mewariskan kepadanya.` Laki-laki itu protes bagaimana mungkin, padahal saya belum pernah menyentuhnya sama sekali?` Maka qadhi Hanafi itu menjawab, `Mungkin saja Anda pernah berjunub, atau Anda pernah keluar mani lalu air mani Anda terbang dan jatuh ke dalam kemaluan wanita ini.`[1] Wahai Hanafi, apakah ini sesuai dengan Kitab dan sunah?`”
Ulama Hanafi menjawab, `Benar, anak-anak itu dinisbahkan kepa-danya. Karena wanita itu adalah tempat tidurnya, dan tempat tidur dinisbahkan kepada seorang laki-laki melalui akad syar`i, serta tidak disyaratkan harus adanya jimak. Rasulullah Saw telah bersabda, `Anak milik tempat tidur (istri), sedangkan batu milik pelacur.` Ulama Syafi`i itu tetap bersikeras menolak terjadinya tempat tidur dengan tanpa jimak, dan dia pun berhasil mengalahkan ulama Hanafi di atas dengan berbagai hujjah yang dikeluarkan.
Ulama Syafi`i berkata lebih lanjut, `Abu Hanifah juga berkata, `Jika seorang wanita dibawa ke rumah suaminya, lalu seorang laki-laki lain menggaulinya. Kemudian laki-laki lain itu mengaku di hadapan qadhiHanafi bahwa dirinya telah menikahi wanita tersebut sebelum wanita itu dinikahi oleh laki-laki yang membawanya kerumahnya, lalu laki-laki yang mengaku itu mengajukan dua orang fasik untuk memberikan kesaksian palsu atas pengakuannya itu. Maka qadhi Hanafi itu akan memutuskan bahwa wanita itu haram bagi suaminya yang pertama (yang membawa ke rumahnya) baik secara zahir maupun batin, tertetapkannya ikatan pernikahan di antara wanita itu dengan laki-laki yang kedua, dan wanita itu halal baginya baik secara zahir maupun batin`[2] Lihatlah, wahai manusia, apakah ini mahzab orang yang mengenal kaidah-kaidah Islam?`
Ulama Hanafi itu berkata, `Anda tidak berhak mengkritik. Karena dalam pandangan kami hukum qadhiberlaku baik secara zahir maupun batin, dan ini merupakkan cabang darinya.` Ulama Syafi`i berhasil mengalahkannya, dan melarang berlakunya hukum qadhi baik secara zahir maupun batin dengan firman Allah Swt yang berbunyi,
`Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah` (QS. Al-Maidah: 49)
Ulama Syafi`i berkata, `Abu Hanifah telah berkata, `Jika seorang laki-laki gaib dari istrinya, dan terputus kabar mengenainya, lalu datang seorang laki-laki lain berkata kepada wanita itu, `Sesungguhnya suami kamu telah mati, maka oleh karena itu tinggalkanlah dia.` Lalu wanita itu pun meninggalkan suaminya yang gaib itu. Kemudian, setelah habis masa iddah, datanglah seorang laki-laki menikahinya dan menggaulinya, dan kemudian wanita itu melahirkan beberapa anak. Setelah itu, laki-laki yang kedua gaib, dan kemudian laki-laki yang pertama muncul di sisi wanita itu, maka seluruh anak dari laki-laki yang kedua menjadi anak dari laki-laki yang pertama. Dia menerima waris dari mereka dan mereka menerima waris darinya.`[3]
Wahai orang-orang yang berakal, apakah orang yang pandai dan mengerti akan mau berpegang kepada perkataan ini?`
Ulama Hanafi menjawab, `Abu Hanifah mengambil perkataan ini dari sabda Rasulullah Saw yang berbunyi, `Anak milik ranjang (istri) dan batu milik pelacur.` Maka ulama Syafi`i memprotes dengan menga-takan bahwa istri disyarati dengan adanya dukhul (disetu-buhi), dan dia mampu mengalahkan ulama Hanafi.
Kemudian ulama Syafi`i berkata, `Imam kamu Abu Hanifah telah berkata, `Laki-laki mana saja yang melihat seorang wanita Muslim, lalu dia mengklaim bahwa suami wanita tersebut telah menceraikannya, dan kemudian dia mendatangkan dua orang saksi yang memberikan kesaksian palsu yang mengutungkan baginya, maka qadhi memutuskan terjadinya talak atas wanita tersebut, dan wanita itu menjadi haram bagi suaminya, sehingga dengan begitu boleh laki-laki yang mengklaim itu menikahinya, dan begitu juga bagi saksi.`[4] Dia menyangka hukum qadhi berlaku baik secara zahir maupun batin.`
Ulama Syafi`i melanjutkan kata-katanya, `Imam kamu Abu Hanifah mengatakan, `Jika empat orang laki-laki bersaksi bahwa seorang laki-laki telah berzina, jika laki-laki itu membenarkan mereka maka gugurlah hadd (hukuman), namun jika dia menyangkal mereka maka tertetapkanlah hukuman baginya.`[5] Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki penglihatan.`
Kemudian ulama Syafi`i berkata lagi, `Abu Hanifah telah berkata, `Jika seorang laki-laki mensodomi seorang anak laki-laki dan kemudian membenamkannya, maka tidak ada hadd baginya kecuali hanya ditegur.`[6]
Padahal Rasulullah Saw telah bersabda, `Barang-siapa yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelakunya (al-fa`il) dan orang yang menjadi obyeknya (al-maf`ul).`[7] Abu Hanifah berkata, `Jika seorang meramas biji gandum lalu dia menggilingnya, maka biji gandum itu menjadi miliknya karena telah menggilingnya. Jika kemudian pemilik gandum itu hendak mengambil biji gandum yang telah digiling itu dengan cara memberikan upah menggiling kepada yang merampas, maka wajib bagi orang yang merampas itu memenuhi permintaannya dan dia boleh menolaknya. Jika pemilik gandum itu terbunuh maka darahnya terbuang dengan sia-sia, sedangkan jika perampas itu terbunuh maka pemilik gandum itu harus dibunuh karena telah membunuhnya.` [8]
Abu Hanifah juga berkata, `Jika seorang pencuri mencuri seribu dinar dari seseorang lalu dia juga mencuri seribu dinar berikutnya dari yang lain, kemudian dia menggabung-kannya, maka semuanya menjadi miliknya, namun dia wajib memberi ganti atasnya.`
Abu Hanifah juga berkata, `Jika seorang Muslim yang bertakwa dan berilimu membunuh seorang kafir yang bodoh maka orang Muslim itu wajib dibunuh. Karena Allah Swt telah berfirman, `Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman` (QS. An-Nisa: 141)
Abu Hanifah berkata, `Jika seseorang membeli ibunya atau saudara perempuannya, lalu dia menikahi keduanya, maka tidak berlaku hukuman (hadd) atasnya, meskipun dia mengetahui dan sengaja melakukannya.`[9]
Abu Hanifah berkata, `Jika seseorang menikahi ibu dan saudara perempuannya dalam keadaan dia mengetahui bahwa mereka itu adalah ibu dan saudara perempuannya, dan kemudian dia menggauli mereka, maka tidak ada hukuman baginya, disebabkan akad nikah tersebut akad syubhat.`[10]
Abu Hanifah berkata, `Jika seseorang tidur dalam keadaan junub di sisi kolam yang berisi minuman keras, lalu dia berbalik di dalam tidurnya dan kemudian jatuh ke dalam kolam, maka hilang junubnya dan dia menjadi suci.`
Abu Hanifah juga berkata, `Tidak wajib niat dalam wudhu[11], dan juga di dalam mandi.`[12] Padahal di dalam kitab shahih disebutkan, `Sesungguhnya amal perbuatan itu (terlaksana) dengan niat.`[13]
Abu Hanifah berkata, `Tidak wajib membaca basmalah di dalam Fatihah`[14], dan dia mengeluarkannya dari Surat al-Fatihah, padahal para khalifah telah menuliskannya di dalam mushaf-mushaf setelah dilakukan pengeditan terhadap Al-Qur`an.
Abu Hanifah juga berkata, `Jika bangkai anjing yang sudah mati diambil kulitnya, lalu kulitnya itu disamak, maka kulit anjing itu menjadi suci, meskipuin digunakan untuk tempat minum dan hamparan di dalam shalat.`[15] Ini bertentangan dengan nas yang me-nyatakan najisnya `ain najasah, yang berarti haramnya pemanfaatannya.`
Kemudian ulama Syafi`i itu berkata, `Wahai Hanafi, di dalam mahzabmu seorang Muslim tatkala hendak shalat boleh berwudhu dengan menggunakan minuman keras, dan memulainya dengan membasuh kaki dan mengakhirinya dengan membasuh kedua ta-ngan.[16] Kemudian memakai pakaina yang terbuat dari kulit bangkai anjing yang telah disamak,[17] sujud di atas kotoran yang telah mongering, bertakbir dengan menggunakan bahasa India, membaca surat al-Fatihah dengan bahasa Ibrani[18], dan setelah surat al-Fatihah membaca `du barghe sabz` –yaitu kata mudhammatam (dua daun hijau), kemudian ruku` lalu tidak mengangkat kepalanya dari ruku` melainkan langsung sujud, serta dua sujud hanya dipisah dengan jeda waktu yang sangat tipis tidak ubahnya seoerti pemisah di antara dua mata pedang. Dan apabila sebelum salam dia sengaja buang angin maka shalatnya sah, namun jika tidak sengaja buang angin maka shalatnya batal.`[19]
Ulama Syafi`i berkata, `Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki penglihatan. Apakah seseorang boleh beribadah dengan ibadah yang seperti ini? Apakah boleh bagi Nabi Saw memerintahkan umatnya dengan ibadah yang seperti ini, yang tidak lain hanya merupakan kebohongan yang dibuat-buat atas Allah Swt dan Rasul-Nya?`
Ulama Hanafi membantah, dan dengan penuh emosi dia berkata, `Berhenti! Wahai Syafi`i. Semoga Allah merobek mulutmu. Kamu kira kamu ini siapa sehingga berani mengecam Abu Hanifah, mahzab kamu lebih layak disebut mahzab majusi. Karena di dalam mahzabmu seorang laki-laki boleh menikahi anak perempuan dan saudara perempuannya hasil zina, dan boleh mengumpulkan dua orang saudara perempuan hasil zina, dan begitu juga boleh menikahi ibunya hasil zina, begitu juga bibinya hasil zina.[20] Padahal Allah Swt telah berfirman,
`Diharamkan atas kamu menikahi ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan bapakmu dan saudara-saudara perempuan ibumu.` (QS. An-Nisa: 23)
Sifat-sifat hakiki ini tidak berubah dengan terjadinya perubahan syariat dan agama. Jangan kamu mengira, wahai Syafi`i, wahai dungu, bahwa terlarangnya mereka dari menerima waris berarti mengeluarkan mereka dari sifat-sifat hakiki ini. Oleh karena itu sifat-sifat tersebut di-idhafahkan kepadanya, sehingga dikatakan `anak perempuan dan saudara perempuannya deari hasil zina`. Pembatasan (taqyid) ini tidak menyebabkannya menjadi majazi (kiasan), sebagaimana kata-kata kita yang berbunyi, `saudara perempuan-nya yang berasal dari nasab`, melainkan hanya memerinci. Sesungguhnya pengharaman di atas mencakup segala sesuatu yang terkena lafaz di atas, baik yang hakiki maupun majazi, berdasarkan kesepakatan. Berdasarkan kesepakatan, nenek termasuk ke dalam kategori ibu, dan begitu juga cucu perempuan dari anak perempuan, maka oleh karena itu tidak diragukan haramnya keduanya dinikahi berdasarkan ayat ini. Perhatikanlah, wahai orang-orang yang berpikir, bukankah mahzab ini tidak lain mahzab Majusi.
Hai Syafi`i, Imam kamu membolehkan manusia bermain catur,[21] padahal Rasulullah Saw telah bersabda, `Tidak menyukai permainan catur kecuali seorang penyembah berhala.`
Hai Syafi`i, Imam kamu membolehkan berjoged, memukul rebana dan meniup seruling[22] bagi manusia. Allah memburukkan mahzabmu, di mana di dalamnya deorang laki-laki menikahi ibu dan saudara perempuannya, bermain catur, berjoged dan memukul rebana. Tidaklah ini semua kecuali kebohongan yang dibuat-buat atas Allah Swt dan Rasul-Nya Saw Tidak akan ada orang yang berpegang kepada mahzab ini kecuali orang yang buta hatinya dari kebenaran.`”
Yohanes berkata, “Perdebatan panjang terjadi di antara mereka berdua, lalu ulama Hanbali membela ulama Syafi`i sedangkan ulama Maliki membela ulama Hanafi, sehingga terjadilah perselisihan di antara ulama Maliki dan Hanbali. Ulama Hanbali berkata, `Se-sungguhnya Malik telah membuat suatu bid`ah di dalam agama, yang karena bid`ah itu Allah Swt telah membinasakan umat-umat terdahulu, namun Malik malah membolehkannya. Yaitu perbuatan mensodomi hamba sahaya. Padahal Rasulullah Saw telah bersabda, `Barangsiapa yang menyodomi budak laki-laki, maka bunuhlah pelaku (al-fa`il) dan orang yang menjadi objeknya (al-maf`ul).`[23]
Saya pernah melihat seorang bermahzab Maliki mengadukan seseorang kepada qadhi, bahwa dia telah menjual budak laki-laki kepadanya namun budak itu tidak dapat digauli. Maka qadhi itu memutuskan ada kekurangan pada budak laki-laki itu, dan oleh karena itu pembelinya dapat mengembalikannya kembali kepada penjualnya. Apakah kamu tidak malu kepada Allah Swt, hai Maliki, mempunyai mahzab yang seperti ini, sementara kamu mengaku-ngaku bahwa mahzabmu adalah sebagus-bagusnya mahzab?! Imam kamu menghalalkan daging anjing. Allah pasti memburukkan mahzab dan keyakinanmu.`
Dengan serta merta ulama Maliki menghardik dan berteriak, `Diam kamu, hai mujassim (orang yang mengatakan Allah berjisim). Justru mahzab kamu yang lebih layak untuk dilaknat dan dijauhi. Karena dalam pandangan Imam kamu, Ahmad bin Hanbal, Allah itu jisim yang duduk di `arasy. Pada setiap malam Jumat Allah Swt turun dari langit dunia keatap-atap mesjid dalam bentuk wajah yang tidak berjanggut, rambut yang keriting, mempunyai dua sandal yang talinya terbuat dari bunga kurma, serta mengenda-rai keledai yang diiringi beberapa serigala`”[24]
Yohanes berkata, “Maka terjadilah perselisihan antara Hanbali dengan Maliki serta Syafi`i dengan Hanafi. Mereka saling meninggikan suara mereka dan menelanjangi keaiban mereka masing-masing, hingga menjengkelkan semua orang yang mendengarkan perbincangan mereka, lalu orang-orang yang hadir pun mencela dan mengecam mereka.
Lalu saya berkata kepada mereka, `Demi Allah, saya bersumpah, saya tidak senang dengan keyakinan-keyakin Anda. Jika Islam benar sebagaimana yang Anda katakana, maka sungguh celaka. Demi Allah, saya bersumpah kepada Anda, supaya Anda menutup pembahasan ini dan pergi. Karena sekarang masyarakat umum telah mencela dan mengecam Anda.”
Yohanes berkata, `Maka mereka pun berdiri, lalu berpisah dan kemudian tidak keluar dari rumah masing-masing selama seminggu. Tatkala mereka keluar rumah, masyarakat mengecam mereka.
[Dikutip dari buku; “Kebenaran Yang Hilang” karya Syeikh Mutashim Sayyid Ahmad]
Foot note:
[1] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 4, hlm 14-15.
[2] Al-Umm, asy-Syafi’i, jld 5, hlm 22-25.
[3] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 5, hlm 119.
[4] Tarikh Baghdad, jld 13, hlm 370.
[5] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 5, hlm 129.
[6] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 5, hlm 141.
[7] Al-Mustadrak, al-Hakim, jld 4, hlm 355; Kanz al-‘Ummal, jld 5, hlm 340, hadis 13129.
[8] Al-Fatawa al-Khairiyyah, jld 2, hlm 150.
[9] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 5, hlm 123.
[10] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 5, hlm 123.
[11] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 1, hlm 63.
[12] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 5, hlm 117.
[13] Musnad Ahmad, jld, 1, hlm 25; Hilyah al-Awliya, jld 6, hlm 342; as-Sunan al-Kubra, Baihaqi, jld 1, hlm 41.
[14] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 1, hlm 242.
[15] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 1, hlm 26.
[16] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 1, hlm 68; Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hlm 37.
[17] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 1, hlm 26.
[18] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 1, hlm 230.
[19] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 1, hlm 307.
[20] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 5, hlm 134.
[21] Al-Umm, asy-Syafi’i, jld 6, hlm 208; al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jld 5, hlm 566.
[22] Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jld 7, hlm 128.
[23] Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, jld 5, hlm 140.
[24] Al-Imam ash-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba’ah, jld 2, hlm 509; Musnad Ahmad bin Hanbal, jld 1, hlm 120 dan hlm 446; Turmudzi, jld 1, hlm 142.
Komentar
Posting Komentar