Langsung ke konten utama

IMAM KHOMEINI, SANG SUFI YANG REVOLUSIONER


IMAM KHOMEINI, SANG SUFI YANG REVOLUSIONER
(Sosok Teladan Bagi Para Politisi Islam)

Sayyid Ayatollah Ruhollah Khomeini (lahir di Khomein, Provinsi Markazi, 24 September 1902 – meninggal di Tehran, Iran, 3 Juni 1989 pada umur 86 tahun) ialah tokoh Revolusi Iran dan merupakan Pemimpin Agung Iran pertama. Lahir di Khomeyn, Iran. Ia belajar teologi di Arak dan kemudian di kota suci Qom, di mana ia mengambil tempat tinggal permanen dan mulai membangun dasar politik untuk melawan keluarga kerajaan Iran, khususnya Shah Mohammed Reza Pahlavi. Uji utama pertamanya – dan rasa politik pertama yang sesungguhnya – tiba pada 1962 saat pemerintahan Shah berhasil mendapatkan RUU yang mencurahkan beberapa kekuasaan pada dewan provinsi dan kota. Sejumlah pengikut Islam keberatan pada perwakilan yang baru dipilih dan tak diwajibkan bersumpah pada al-Qur'an namun pada tiap teks suci yang dipilihnya. Khomeini menggunakan kemarahan ini dan mengatur pemogokan di seluruh negara yang menimbulkan penolakan pada RUU itU
Pada tanggal 3 Juni, 20 tahun silam, saat perlahan-lahan umat Islam mulai bangkit, ketika ia memberikan seteguk air harapan kepada umat yang berkuasa, ketika kehadirannya masih dibutuhkan, ia dipanggil Allah SWT. Itulah Ayatullah Ruhullah Al-Musawi Al-Khomeini, yang semasa hidupnya diisi dengan perjuangan menegakkan nilai-nilai Islam. Seorang ulama yang telah memimpin revolusi Islam di Iran, namun pengaruhnya telah melewati batas negaranya. Dalam perjuangannya, Imam Khomeini telah mengembalikan keyakinan dunia bahwa Islam merupakan agama paling sempurna yang menawarkan kebahagiaan hidup manusia. Bisa dikatakan bahwa salah satu tujuan Imam Khomeini dalam membentuk pemerintahan Islam di Iran adalah dalam rangka membuktikan bahwa Islam dapat berperan secara efektif dalam berbagai bidang kehidupan.
Amien Rais dalam Dinamika Revolusi Islam Iran mengatakan bahwa sumbangan positif revolusi Iran bagi dunia Islam adalah keberhasilannya dalam mengembalikan rasa percaya diri negara-negara Muslim di seantero dunia. Sekalipun pada umumnya negara-negara sudah memperoleh kemerdekaan politik pada masa pasca Perang Dunia II, akan tetapi dalam kenyataan mereka masih belum  dapat membebaskan diri dari penjara psikologis imperialisme Barat atau Timur. Cukup banyak Negara Muslim yang seperti yatim piatu dan merasa aman hanya bila bergantung pada kekuatan Barat atau Timur. Itulah sebabnya Robin Woodsworth Carlsen ilmuwan dan filosof Kanada, pernah pula berkata bahwa “Imam Khomeini dan Rakyat Iran telah melakukan sebuah tindakan bersejarah yang agung. Menurut pendapat saya, sebagai seorang Barat dan non-Muslim, saya percaya inilah  sebuah mukjizat bahwa revolusi Ilahiah di dunia sekarang ini terjadi dalam cara seperti itu.”
Di sinilah Republik Islam Iran  sebagai produk Revolusi Islam, menjadi sebuah model yang sama sekali baru di dunia politik modern. Republik Islam Iran merupakan Negara pertama yang memadukan lembaga-lembaga politik modern (seperti presiden dan perlemen) dengan Wilayah al-Faqih (Pemerintahan para Fuqaha). Wilayah al-faqih bisa dianggap sebagai karya luar biasa Imam Khomeini yang telah berhasil ditransformasikannya menjadi konsep dan sistem politik Islam. Ia meyakini secara mendalam tentang keterkaitan erat antara agama dan politik, yang menjadi salah satu landasan utama bagi keteguhannya dalam mengembangkan konsep “Pemerintahan Islam yang dipimpin para ulama.”
Keberhasilan revolusi Islam Iran tentu tidak bisa dilepaskan dengan keberhasilan yang dilakukan oleh Imam Khomeini dalam memimpin perubahan yang mencengangkan tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa revolusi Islam Iran telah menjadi inspirasi bagi pejuang-pejuang Islam dan para tokoh revolusioner setelahnya, kecuali bagi orang-orang yang tidak sanggup melihat kenyataan. Norman Mailer seorang penulis berkata,”Khomeini telah menawarkan kepada kita kesempatan untuk membangunkan agama kita yang lemah, keyakinan dalam kekuatan kata-kata.” Demikian juga yang diucapkan salah seorang cendekiawan Muslim terkemuka dunia Hamid Maulana bahwa “Di dunia Barat, pasca abad renaissance, dan di dunia Islam, pasca zaman-zaman keemasannya dulu, tidak pernah bisa ditemukan seorang tokoh penggerak revolusi seperti Imam Khomeini. Pemikiran dan gerakannya berpengaruh secara signifikan di seluruh dunia. Tidak ada kekuatan apapun yang ditakutinya. Lewat gaya hidupnya yang sederhana dan komitmennya yang kuat terhadap ajaran Islam, Imam Khomeini telah mengubah peta kekuatan politik di dunia.”
Sosok Teladan bagi Para Politisi Islam
Hamid Algar dalam Imam Khomeini Sang Sufi mengatakan,“Pada usia yang masih cukup muda, Khomeini telah mengembangkan suatu visi tentang Islam yang berbeda, yang meliputi dimensi spiritual, intelektual, sosial dan politiknya, yang telah dipegangnya dengan teguh selama lebih dari setengah abad. Sesungguhnya salah satu ciri sifatnya yang paling nyata adalah tingkat konsistensinya yang tinggi dan tak banyak dimiliki orang.” Karena itu, bagi Ayatullah Khomeini seorang arif tak akan benar-benar mencapai maqam spiritual tertinggi jika tidak memanifestasikan keimanan puncak yang telah diraihnya  dalam bentuk concern sosial politik untuk mereformasi masyarakat dan membebaskan kaum tertindas dari rantai penindasannya.
Dalam konteks perpolitikan di Indonesia, sosok seperti beliau nampaknya memang sangat kita butuhkan walaupun menjadi sesuatu yang sulit untuk kita temukan, termasuk dari para politisi  yang mewakili parpol Islam dan mengatasnamakan berjuang untuk umat Islam. Hal ini disebabkan, karena perpolitikan kita memang tidak mengalami perubahan yang berarti meskipun angin reformasi telah berhembus kurang lebih 10 tahun lamanya. Sikap pragmatis dalam mengejar kekuasaan sudah menjadi hal yang lumrah dilakoni oleh partai politik dan politisinya. Maka tidak mengherankan, kalau praktek politik dagang sapi, politik uang dan segala bentuk penyelewengan, menjadi tontonan sehari-hari dalam kehidupan berpolitik di tanah air. Kondisi seperti ini akan terus berlangsung manakala kita tidak merubah paradigma perpolitikan kita. Paradigma kita dalam berpolitik harus digeser dari politik untuk kekuasaan semata menuju politik yang berlandaskan pada nilai-nilai. Misi perpolitikan seperti inilah yang berhasil diwujudkan oleh Imam Khomeini di negaranya Iran. Karena itu tidak ada salahnya untuk meneladani sosok kepribadian beliau bagi para politisi, khususnya politisi Islam yang sering berteriak tentang nilai-nilai luhur seperti kebenaran, kejujuran, keadilan, kesejahteraan dan sebagainya, tetapi tidak pernah konsisten dalam memperjuangkannya, sehingga hanya tersisa menjadi sebatas jargon dan slogan semata.

Di Iran, karena perpolitikannya dilandaskan pada nilai-nilai, maka dengan sendirinya terbentuk sistem politik yang memberikan ruang bagi orang-orang yang tercerahkan dan berpegang pada nilai-nilai tersebut. Sebaliknya di Indonesia, yang menjalankan sistem politik dengan orientasi kekuasaan  pragmatis, maka yang difasilitasi hanyalah politisi-politisi busuk, yang gila kekuasaan dan kedudukan, yang menghalalkan segala cara. Coba kita bandingkan bagaimana sikap Imam Khomeini! Setelah Republik Islam berdiri, alih-alih memikirkan kekuasaan dan kedudukan baginya, malahan fokus Imam Khomeini tertuju kepada perjuangan rakyat Palestina dan rakyat dunia lainnya yang menderita. Bagi beliau, pendirian Republik Islam memang ditujukan untuk membebaskan penderitaan kaum tertindas. Ia menganggap, kerusakan di dunia disebabkan oleh sistem sosialisme dan kapitalisme yang dimotori oleh negara-negara adidaya, terutama Amerika Serikat dan Inggris yang memang memiliki sejarah penindasan  bagi rakyat Iran.
Ayatullah Khomeini, bagi banyak orang Barat, adalah nama yang lekat dengan fundamentalisme, ekstrimisme dan otoritarianisme. Kenyataannya, berbeda dari yang sering dipahami banyak orang. Imam Khomeini, seperti diuraikan dalam buku Wasiat Sufi-nya justru sarat dengan unsur-unsur human interest, seperti keterbukaan, kasih sayang, kepedulian dan bahkan modernitas. Semuanya mengisyaratkan satu hal bahwa, jauh sebelum dikenal sebagai mulla-faqih dan pemimpin Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khomeini, tak diragukan lagi, adalah seorang sufi. Tasawuf Imam Khomeini, tidaklah berpandangan untuk menolak dunia ini, tetapi menjadi basis bagi kegiatan-kegiatan keduniaan.
Imam Khomeini juga termasuk ulama yang memandang penting persatuan Sunni-Syiah/Persatuan Islam. Beliau berpesan bahwa, “Sesungguhnya menanam perpecahan antara sesama mazhab Islam hanya akan merobek-robek mereka sendiri sampai mereka tidak mampu lagi berbuat untuk kepentingan Islam dan Muslimin. Para antek negara-negara besar tidak menginginkan terealisirnya persatuan antara Syiah dan Sunnah.” Karena itu bila ada kelompok yang selalu mempropangandakan permusuhan dan perpecahan dalam tubuh umat Islam, maka ia adalah bagian dari antek-antek Barat dan Zionisme internasional.
Beliau juga adalah figur sejati pecinta Rasulullah SAW dan Ahli Baitnya. Sayyid Ahmad Khomeini putranya pernah menuturkan kisah bahwa pada suatu hari Imam bolak-balik di kamarnya seperti sedang dilanda kerisauan hati. Ketika Sayyid Ahmad bertanya, apa yang dirisaukannya, Imam Khomeini berkata, “Seandainya aku masih muda, demi kecintaanku kepada Rasulullah SAW, aku akan pergi mencari Salman Rusdhie dan membunuhnya dengan tanganku sendiri.” Inilah yang dirisaukan Imam Khomeini pada hari-hari terakhir hayatnya. Ia telah menetapkan hukuman mati bagi Salman Rusdhie, tetapi ia merasa ia sendirilah yang harus mendapat kehormatan membunuh orang yang menghina Rasulullah SAW. Demikianlah sosok Imam Khomeini, ia besar bukan karena membentuk kelompok radikal yang hanya muncul sesaat lalu dilibas daur waktu. Ia dikenal bukan karena dibesarkan oleh media massa atau rekayasa, tapi besar karena ia hanya tahu ‘Yang Mahabesar’.
Tulisan ini saya akhiri dengan cuplikan Munajat Sya’baniyah yang sering dikutip oleh Ayatullah Khomeini dalam berbagai kesempatan di sepanjang masa hidupnya :
“Ilahi, anugerahilah daku kepasrahan total kepada-Mu,
dan sinarilah mata-mata hatiku dengan pancaran penglihatan kepada-Mu,
hingga mata-mata hati itu menyibak hijab-hijab (yang menutupi) cahaya itu
dan mencapai sumber keagungan-Mu,
dan (jadikan) ruh-ruh kami terpancang dalam ambang kesucian-Mu.

Ilahi, jadikan aku termasuk yang menyahut tatkala Kau memanggil mereka,
dan yang ketika Kau menatap mereka,
mereka pingsan (akibat terpana) oleh kedahsyatan-Mu.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fakta Sisingamangaraja XII

Sisingamangaraja XII (1845 – 1907) Pejuang Islam yang Gigih Sisingamangaraja merupakan nama besar dalam sejarah Batak. Dia tokoh pemersatu. Dinasti Sisingamangaraja dimulai sejak pertengahan tahun 1500-an, saat Raja Sisingamangaraja I yang lahir tahun 1515 mulai memerintah. Dia memang bukan raja pertama di sana. Pemerintahan masa sebelum itu dikenal dengan nama bius. Satu bius merupakan kumpulan sekitar tujuh horja. Sedangkan satu horja terdiri dari 20 huta atau desa yang punya pimpinan sendiri. Ada Bius Toba, Patane Bolon, Silindung dan sebagainya. Dari 12 orang yang melanjutkan dinasti Sisingamangaraja, Singamangaraja XII merupakan raja paling populer dan diangkat sebagai pahlawan nasional sejak 9 November 1961. Lukisan dirinya yang dibuat Augustin Sibarani yang kemudian tercetak di uang Rp 1.000 yang lama, merupakan satu-satunya “foto” diri Sisingamangaraja. Dia naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Singamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon. Peno

Surat dalam Al Quran dapat mencegah 10 perkara

10 Surat dalam Al Quran dapat mencegah 10 perkara 1. Surat Al Fatihah mencegah kemarahan Allah 2. Surat Yaasin mencegah kehausan di hari kiamat 3. Surat Ad Dukhan mencegah kesusahan di hari kiamat 4. Surat Waqi'ah mencegah kekafiran 5. Surat Al Mulk mencegah siksa kubur 6. Surat Al Kautsar mencegah permusuhan 7. Surat Al Kafirun mencegah kekufuran ketika di cabut roh 8. Surat Al Ikhlas mencegah kemunafikan 9. Surat Al Falaq mencegah iri hati seseorang 10. Surat An Nas mencegah was-was Semoga bermanfaat insya Allah :)    

Akhlak Pecinta Ahlulbait

Oleh: Syaikh Shaduq 1. Dari Ayahandaku, semoga Allah swt memberi rahmat kepadanya, ia mengatakan telah meriwayatkan kepadaku Ali Bin Husain Asyad Abadi dari Jabir bin Ju’fi, ia mengatakan telah berkata Abu Ja’far: “Apakah cukup yang menjadi syiah dengan hanya mengatakan cinta kepada Ahlulbait? Imam menjawab, “Demi Allah , tiada lain Syiah kami adalah mereka yang bertakwa kepada Allah dan mentaati-Nya, Mereka hanya dikenal dengan ketawadhuan, kekhusyu’an, menunaikan amanat, dan banyak berdzikir kepada Allah, shaum, shalat, berbuat baik kepada orang tua, baik kepada tetangga yang miskin, yang fakir, yang punya hutang, anak-anak yatim, jujur, membaca Quran, menjaga lisan kecuali dengan perkataan yang baik, Orang-orang syiah adalah amanah bagi para keluarga mereka”. Jabir kemudian mengatakan: “Wahai putra Rasulullah saw, kami mengenal mereka tetapi tidak memiliki sifat-sifat seperti ini”. Beliau mengatakan,” Wahai Jabir janganlah engkau bermazhab kepada orang-