Hari Lahir
Imam Ja‘far Ash-Shadiq as lahir pada 17 Rabiul Awal 80
Hijriah di Madinah Al-Munawwarah. Ayah beliau adalah Imam Muhammad Al-Baqir as
dan ibunya bernama Ummu Farrah, putri Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.
Bercerita tentang sang ibu, beliau menuturkan, “Ibundaku
adalah wanita beriman, bertakwa, dan senantiasa berbuat baik, karena
sesungguhnya Allah SWT mencintai orang yang senantiasa berbuat baik.”
Imam Ja‘far Ash-Shadiq as hidup sezaman dengan datuknya,
Imam Ali Zainal Abidin as selama 15 tahun dan dengan ayahnya, Imam Muhammad
Al-Baqir as selama 34 tahun.
Beliau memiliki beberapa gelar terhormat, di antaranya Ash-Shabir (sang penyabar), Al-Fadhl (sang utama), dan At-Thahir (sang suci). Gelar beliau yang paling
masyhur adalah Ash-Shadiq (sang jujur). Seluruh gelar
tersebut menunjukkan kemuliaan dan keutamaan akhlak beliau.
Beliau sempat menyaksikan datuknya Imam Husain as. Beliau
juga menyaksikan kezaliman Bani Umayyah yang justru meruntuhkan kekuasaan
mereka sendiri, sekaligus membukakan jalan bagi Bani Abbasiyah yang
mengatasnamakan Ahlulbait untuk mengajak masyarakat bangkit melawan Bani
Umayyah. Namun, ketika berhasil meruntuhkan kekuasaan Bani Umayyah, mereka
malah lebih menumpahkan kebenciannya kepada Ahlulbait as.
Imam Ja‘far as hidup di bawah pemerintahan zalim Bani
Umayyah selama kurang-lebih 40 tahun, dan hidup pada masa permerintahan
Abbasiyah selama sekitar 20 tahun. Selama itu, beliau menghindar dari kehidupan
politik. Sementara pemikiran syirik dan penyelewengan berkembang pesat, beliau
lebih banyak menghabiskan waktunya pada pengajaran agama, pendidikan akhlak,
dan akidah di tengah masyarakat.
Kondisi yang berkembang waktu itu telah menuntut Imam Ja‘far
as untuk berjuang melawan pemikiran syirik, sehingga pada masa beliaulah mazhab
Ahlulbait sesungguhnya mengalami perkembangan pesat.
Akhlak Luhur
Zaid bin Tsa’ari Al-Ma’ruf berkata, “Pada setiap zaman pasti
ada seorang dari Ahlulbait Nabi saw di tengah-tengah kita yang menjadi bukti
Allah atas segenap makhluk-Nya. Dan bukti Allah di zaman kita ini ialah anak
laki-laki dari saudaraku, Ja‘far bin Muhammad yang tidak akan sesat siapa yang
mengikutinya dan tidak akan mendapat petunjuk siapa yang menyimpang darinya.”
Malik bin Anas (Imam Malik) berkata, “Demi Allah! Aku tidak
pernah melihat seorang pun melebihi kezuhudan, keutamaan, ibadah, dan kewarakan
Ja‘far bin Muhammad. Suatu waktu aku mendatanginya dan beliau sangat
memuliakanku.”
Bahkan, Abu Hanifah (Imam Hanafi) pernah belajar kepada
beliau selama dua tahun. Dia menuturkan pengakuannya, “Seandainya tidak ada dua
tahun, maka Nu’man (Abu Hanifah) pasti binasa.”
Salah satu sahabat beliau meriwayatkan, “Pada suatu hari aku
bersama Abu Abdillah (Imam Ja‘far) as. Ketika itu, beliau mengendarai keledai
menuju Madinah. Tatkala mendekati pasar, Imam turun dari himarnya lalu sujud
kepada Allah cukup lama.
“Aku menunggunya, sampai beliau mengangkat kepalanya. Lalu
aku berkata kepadanya, ‘Semoga aku menjadi tebusanmu wahai Imam! Aku melihat
Anda turun dari keledai lalu sujud.’ Beliau membalas, “Sesungguhnya aku
teringat nikmat Allah yang begitu melimpah kepadaku. Maka, aku segera melakukan
sujud syukur.’”
Pernah juga sahabat itu berkata, “Aku melihat Ja‘far bin
Muhammad as sedang mencangkul di kebunnya. Tampak peluh bercucuran dari
tubuhnya yang mulia. Kukatakan kepadanya, ‘Semoga aku menjadi tebusanmu, wahai
Imam! Berikanlah cangkul itu kepadaku dan tinggalkanlah pekerjaan ini.’
“Beliau berkata kepadaku, ‘Sesungguhnya aku senang kepada
seseorang yang bersusah payah dan kulitnya terbakar sinar matahari untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.’”
Suatu hari Imam Ja‘far as meminta seorang pembantunya untuk
suatu keperluan. Ketika ia tak kunjung kembali, beliau keluar mencarinya dan
mendapatinya sedang tidur. Imam menghampirinya dan duduk di dekat kepalanya
lalu mengipasinya hingga ia terjaga. Imam mengingatkannya dan berkata
kepadanya, “Engkau tidur siang dan malam? Bagimu waktu malam dan bagi kami
waktu siang.”
Imam Ja‘far as pernah mengupah beberapa orang untuk bekerja
di kebunnya. Sebelum mereka selesai dari pekerjaannya, Imam berkata kepada
pembantunya, Mu’tab, “Berikanlah upah mereka sebelum kering keringatnya.”
Ketika telah lewat tengah malam, beliau membawa kantong yang
berisi roti, daging, dan Dirham (uang perak) yang diletakkan di pundaknya, lalu
beliau memberikan kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitar Madinah,
sementara mereka tidak mengetahui siapa yang membagi-bagikan bahan pangan itu.
Ketika Imam Ash-Shadiq as wafat, mereka baru tahu bahwa yang membagikan bahan
pangan kepada mereka selama ini adalah beliau.
Imam Ja‘far dan Sufyan Ats-Tsauri
Suatu hari, Sufyan lewat di Masjidil Haram. Dia melihat Imam
Ja‘far as memakai mantel bagus yang berharga mahal. Dia berkata kepada dirinya,
“Demi Allah, saya akan peringatkan dia.” Lalu dia mendekati Imam dan berkata
kepadanya,” Demi Allah, wahai putra Rasulullah! Aku tidak menjumpai pakaian
seperti ini dipakai oleh Rasulullah, Ali bin Abi Thalib, dan tidak seorang pun
dari bapakmu.”
Imam menjawab, “Dahulu, Rasulullah hidup pada zaman yang
serba kekurangan, kefakiran, dan kini kita hidup pada zaman kemakmuran, dan
orang-orang baiklah yang lebih berhak daripada orang lain atas nikmat Allah.”
Kemudian beliau membacakan firman Allah, “Katakanlah
siapakah yang mengharamkan perhiasan dan makan bersih yang Allah siapkan untuk
hambanya.” “Maka,
kamilah yang lebih berhak untuk memanfaatkan apa yang diberikan Allah.”
Lalu Imam menyingkap pakaiannya dan tampaklah pakaian
dalamnya yang kasar dan kering. Beliau berkata lagi, “Wahai Sufyan, pakaian ini
(mantel luar) untuk manusia dan pakaian dalam ini untukku.”
Imam Ja‘far dan Perniagaan
Suatu hari Imam as memanggil pelayannya, Musadif dan
memberinya 1.000 Dinar untuk modal berniaga. Imam berkata kepadanya,
“Bersiap-siaplah pergi ke Mesir untuk berniaga.”
Ketika barang dagangan sudah dikumpulkan, dia bersiap-siap
untuk berangkat bersama kafilah dagang ke Mesir. Di tengah perjalanan, mereka
berpapasan dengan kafilah dagang dari Mesir dan mereka menanyakan barang
perniagaan dan kebutuhan masyarakat di sana. Mereka mengabarkan bahwa barang
yang mereka bawa sekarang tidak ada di Mesir, lalu kafilah dagang itu sepakat
untuk mencari keuntungan.
Setibanya di Mesir, mereka menjual barang mereka dengan
harga seratus persen keuntungan, kemudian bergegas kembali ke Madinah. Musadif
menjumpai Imam Ash-Shadiq as sambil membawa dua kantong uang, masing-masing
berisi 1.000 Dinar.
Dia berkata kepada Imam as, “Wahai tuanku, ini modal uang
dan ini keuntungannya.”
Imam berkata, “Alangkah banyak keuntunganmu. Bagaimana
caranya engkau dapatkan keuntungan sebanyak ini?”
Musadif pun menceritakan bagaimana masyarakat Mesir
membutuhkan barang yang mereka bawa, dan bagaimana para pedagang sepakat untuk
menarik keuntungan satu kali lipat dari setiap Dinar modal mereka.
Imam as dengan nada heran berkata, “Maha Suci Allah, engkau
sepakat untuk menarik keuntungan dari kaum muslimin dan menjual barang kalian
dengan keuntungan satu Dinar dari setiap Dinar modal kalian.”
Imam lalu mengambil modalnya saja dan berkata, “Ini adalah
harta saya dan aku tidak butuh pada keuntungan ini.”
Kemudian berkata, “Wahai Musadif, tebasan pedang lebih
ringan perkaranya daripada mencari harta halal.”
Pada suatu waktu, seorang fakir pernah meminta bantuan kepada
Imam Ja‘far as. Lalu beliau berkata kepada pembantunya, “Apa yang ada padamu?”
Pembantu itu menjawab, “Kita punya empat ratus Dirham.”
Imam berkata lagi, “Berikanlah uang itu kepadanya!” Orang
fakir itu mengambilnya dan pamit dengan segunung rasa syukur.
Imam meminta kepada pembantunya, “Panggil dia kembali!” Si
fakir itu berkata keheranan, “Aku meminta kepadamu dan kau memberiku, lalu
gerangan apakah Anda memanggilku kembali?”
Imam berkata, “Rasululah saw bersabda, ‘Sebaik-baik sedekah
adalah yang membuat orang lain tidak butuh lagi.’ Dan kami belum membuat kamu
merasa tidak butuh lagi. Maka, ambillah cincin ini. Harganya 10 ribu dirham.
Jika kamu memang memerlukan, juallah cincin ini dengan harga tersebut.”
Berbakti kepada Ibu
Seorang pemuda beragama Nasrani (Kristen) yang baru saja
masuk Islam menjumpai Imam Ja‘far Ash-Shadiq. Imam memanggilnya dan berkata,
“Katakanlah apa yang kau butuhkan?”
Pemuda itu berterus terang, “Sesungguhnya ayah dan ibuku
serta seluruh keluargaku beragama Nasrani. Ibuku matanya buta dan aku hidup
bersama dengan mereka dan makan dari bejana mereka.”
Imam as berkata, “Apakah mereka makan daging babi?”
Pemuda itu menjawab, “Tidak.”
Imam as berkata, “Makanlah bersama mereka, dan aku wasiatkan
kepadamu untuk tidak merasa berat dalam berbuat baik kepada ibumu, dan
penuhilah segala keperluannya.”
Pemuda itu kembali ke Kufah. Setibanya di rumah, sang ibu
mendapatinya begitu patuh dan saleh, berbeda dengan kondisi sebelumnya.
Dia berkata, “Wahai anakku, kau tidak pernah melakukan hal
seperti ini ketika kau masih memeluk agama Nasrani. Lalu gerangan apakah semua
yang kuliat ini semenjak kau berpindah agama dan masuk Islam?”
Pemuda itu menjawab, “Aku diperintahkan melakukan semua ini
oleh seorang laki-laki dari keturunan Nabi Muhammad saw.”
“Apakah dia seorang nabi?”, tanya sang ibu.
Pemuda itu menjawab, “Bukan, ia hanyalah keturunan nabi.”
Akhirnya, sang ibu pun mengakui, “Agamamu sungguh
sebaik-baik agama. Ajarkanlah agamamu kepadaku.”
Lalu pemuda itu menyambut permintaannya, hingga ia pun masuk
Islam dan menunaikan salat sesuai yang diajarkan anaknya yang saleh itu.
Imam Ja‘far dan Penimbun Barang
Imam Ja‘far Ash-Shadiq as berkata, “Masa menimbun barang
pada musim subur (panen); yaitu empat puluh hari dan tiga hari pada musim
paceklik. Maka, barang siapa yang melampaui empat puluh hari pada musim subur,
sungguh ia akan terlaknat, dan barang siapa yang melampaui tiga hari ketika
musim paceklik, dia pun akan terlaknat.”
Beliau berkata kepada pembantunya ketika masyarakat dalam
keadaan hidup susah, “Belilah biji gandum dan campurlah makanan kami (dengan
bahan lain), karena kami dimakruhkan makan makanan yang enak sementara
masyarakat makan makanan yang tidak enak.”
Suatu malam, gelap gulita menyelimuti kota Madinah. Mu'alla
bin Khunais melihat Imam Ja‘far as menerobos kegelapan malam di bawah guyuran
hujan sambil memikul roti sekarung penuh. Lalu dia mengikuti beliau untuk
mengetahui ihwal rota yang dibawanya. Tiba-tiba beberapa potong roti itu jatuh
berserakan. Imam as memungutnya dan terus melanjutkan perjalanannya hingga
sampai di tempat orang-orang miskin yang sedang tidur. Imam as meletakkan dua
potong roti di samping kepala mereka.
Mu’alla mendekati Imam as. Setelah memberi salam, dia
bertanya, “Apakah mereka dari pengikut setiamu?” Beliau menjawab, “Bukan.”
Imam Ja‘far as juga banyak menanggung nafkah sejumlah
keluarga. Beliau membawakan mereka makanan pada malam hari sementara mereka
sendiri tidak mengetahui. Hingga ketika beliau wafat, terputuslah santunan yang
biasa datang pada malam hari. Mereka sadar bahwa yang membawa itu ternyata sang
Imam as.
Suatu masa, Madinah dilanda musim kemarau. Gandum begitu
langka di pasar. Imam Ja‘far as bertanya kepada pembantunya, Mu'tab tentang
persediaan yang dimiliki. Mu'tab menjawab, “Kita punya cukup persedian untuk
beberapa bulan.”
Beliau memerintahkan untuk membawa dan menjualnya di pasar.
Mu'tab heran dan memprotes. Akan tetapi, tidak ada faedahnya.
Basyar Al-Mukkari meriwayatkan, “Aku mendatangi Ja‘far
Ash-Shadiq as, sementara beliau tengah memakan kurma yang berada di tangannya.
Beliau berkata, ‘Wahai Basyar, kemarilah dan makanlah bersama kami.’
Aku berkata, ‘Semoga Allah membahagiakanmu, nafsu makanku
hilang karena aku melihat sebuah kejadian di tengah jalan tadi yang menyakitkan
hatiku. Aku melihat tentara memukuli seorang perempuan dan menyeretnya untuk
dijebloskan ke penjara. Perempuan itu meratap, ‘Aku memohon perlindungan kepada
Allah dan Rasul-Nya.’ Lalu aku mencari tahu tentang nasib perempuan tersebut.
Orang-orang mengatakan bahwa dia tergeletak di jalan. Aku berkata, ‘Semoga
Allah melaknat orang yang menzalimimu, duhai Fatimah.’
Imam berhenti makan dan menangis. Air matanya membasahi sapu
tangannya. Lalu beliau bangkit dan pergi ke mesjid untuk mendoakan perempuan
itu.
Perempuan miskin itu tidak lama tinggal mendekam di penjara.
Imam as mengirimkan kepadanya sebuah kantong kecil yang berisi tujuh keping
Dinar.
Universitas Islam
Dinasti Umayah, yang diikuti oleh Dinasti Abbasiyah,
senantiasa berusaha menumpas Ahlulbait as dan mengusir para pengikut mereka di
segala penjuru.
Dalam keadaan buruk demikian itu, masyarakat menuntut ilmu
dan riwayat dari Ahlulbait dengan sembunyi-sembunyi dan rasa takut.
Ketika keadaan itu berlanjut sampai pada masa Imam Muhammad
Al-Baqir as dan putranya, Imam Ja‘far Ash-Shadiq as, mereka berdua memusatkan
perhatian pada pengembangan ilmu pengetahuan dan memperkuat asas keimanan di
hati masyarakat.
Pada zaman Imam Ja‘far as, begitu banyak pemikiran dan
kepercayaan sesat yang menggoncang keimanan masyarakat, lalu Imam bekerja keras
memeranginya.
Dalam rangka itu, beliau mendirikan sebuah universitas Islam
besar pertama, dan berhasil melahirkan lebih dari empat ribu sarjana di
berbagai bidang ilmu agama, Matematika, Kimia, hingga Kedokteran.
Tengoklah Jabir bin Hayyan, seorang Ahlul Kimia yang
termasyhur itu. Ia mengawali pandangan-pandangan ilmiahnya dengan ungkapan,
“Tuanku Ja‘far bin Muhammad Ash-Shadiq as telah mengatakan kepadaku ….”
Imam Ja‘far as sangat memuliakan para ilmuwan yang bertakwa,
memberikan semangat, dan menjelaskan metodologi penelitian dan dialog yang
benar kepada mereka dalam menegakkan agama dan memperkokoh dasar-dasar
keimanan.
Beliau merasa sangat sedih tatkala menyaksikan para pemikir
yang berusaha mengacaukan keyakinan masyarakat dengan menyebarkan berbagai
pemikiran sesat.
Pernah suatu hari, empat pemikir sesat berkumpul di Makkah.
Mulailah mereka memperolok para jemaah haji yang sedang bertawaf di seputar
Ka’bah.
Selain itu, mereka berempat sepakat untuk menyanggah
Al-Qur'an dengan cara mengarang kitab yang serupa. Mereka pun membagi tugas
yang masing-masing pemikir mempelajari seperempat dari Al-Qur'an untuk
disanggah, dan berjanji untuk bertemu lagi pada musim haji tahun depan.
Genap satu tahun kemudian, empat pemikir itu kembali
berkumpul di Makkah. Pemikir pertama mengatakan, “Saya telah menghabiskan
waktuku selama setahun hanya untuk memikirkan ayat yang berbunyi, ‘Maka tatkala mereka putus asa [terhadap
hukuman Nabi Yusuf], mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik ….’ (QS. Yusuf:80) Sungguh kefasihan ayat
ini melumpuhkan pikiranku.”
Pemikir kedua menyahut, “Ya, aku juga memikirkan ayat yang
berbunyi, ‘Hai manusia, telah
diberikan sebuah perumpamaan, maka simaklah dengan seksama, bahwa sesungguhnya
segala sesuatu yang kamu sebut selain Allah sama sekali tidak mampu menciptakan
seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya.’ (QS. Al-Hajj:73). Sungguh Aku tidak
sanggup menciptakan seindah ayat ini.”
Tanpa membuang waktu, pemikir ketiga pun menyambungnya, “Aku
sudah memikirkan ayat ini,‘Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan selain
Allah, tentulah keduanya hancur….’ (QS.
Al-Anbiya’:22) Sungguh aku begitu lemah untuk membuat padanannya.”
Akhirnya tibalah giliran pemikir keempat menyatakan
pengakuannya, “Sesungguhnya Al-Qur'an ini bukanlah buatan manusia. Aku telah
menghabiskan setahun penuh hanya untuk merenungkan ayat ini,‘Dikatakan, 'Hai
bumi, telanlah airmu, dan hai langit [hujan] berhentilah, dan air pun
disurutkan, perintahpun terlaksana, dan bahtera itu pun berlabuh di bukit Judi
[dekat Armenia daerah Mesopatomia], dan dikatakan binasalah orang-orang Zalim.’”
(QS. Hud:44)
Ketika itu, Imam Ja‘far as. lewat di hadapan mereka. Sejenak
memandang mereka, beliau membacakan firman Allah, “Seandainya segenap manusia dan jin
bersatu untuk membuat padanan Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan mampu,
sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (QS. Al-Isra’:88)
Mazhab Ja‘fariyah
Mazhab Ahlulbait as berkembang pada masa Imam Ja‘far as, dan
pengikutnya terus bertambah pesat, sehingga masyarakat lebih mengenal mazhab
Syi‘ah dengan mazhab Ja‘fariyah, yaitu nama yang diambil dari Imam Ja‘far Ash-Shadiq
as.
Tentu saja tidak bisa dipungkiri, bahwa mazhab Ja‘fariyah
adalah Mazhab Imam Ali bin Abi Thalib as yang telah dikhianati dan dibunuh oleh
kaum Khawarij, mazhab yang menyebabkan Imam Hasan as tewas diracun oleh
Muawiyah, mazhab yang menyebabkan Imam Husain as mencapai syahadahnya pada Hari
Asyura (di padang karbala pada 10 Muharram).
Rasulullah saw telah mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk
berpegang teguh pada kitab Allah dan keluarga beliau (Ahlulbait as). Sayang
sekali, kaum muslimin telah melupakan wasiat tersebut. Ada sebagian yang telah
menyimpang jauh sampai merampas hak kepemimpinan mereka dan menyebarkan
kerusakan dan kezaliman. Ada pula penguasa-penguasa yang mengasingkan mereka
dan para pengikutnya, bahkan tak segan-segan membunuh dan merencanakan kekejian
terhadap mereka, seperti yang terjadi di Karbala.
Kaum muslimin mulai menyadari bahwa sikap menyia-nyiakan
wasiat Rasulullah saw itu merupakan kerugian besar. Pada saat yang sama, mereka
takut terhadap ancaman penguasa, bahkan ada di antara mereka yang
menyembunyikan kepercayaan dan kesetiaannya kepada Ahlulbait as demi
keselamatan hidupnya.
Imam Ja‘far dan Manshur Dawaniqi
Kaum muslimin jenuh dan geram terhadap pemerintahan Bani
Umaiyah yang zalim. Dalam keadaan demikian itu, terdapat sekelompok orang yang
memanfaatkan kegeraman muslimin itu serta dan keberpihakan mereka kepada
Ahlulbait Rasul as demi kepentingan pribadi.
Lantaran hasutan orang-orang itu, kaum muslimin mulai
melakukan pembangkangan terhadap Bani Umaiyah dengan membawa-bawa nama
Ahlulbait. Sementara itu Bani Abbasiyah segera giat menyalahgunakan kondisi
tadi dengan mengajak kaum muslimin agar meneriakkan slogan “Kesetiaan pada
Ahlulbait Muhammad.”
Slogan yang digemakan itu sangat membantu menyebarkan siasat
Bani Abbasiyah. Pemberontakan mulai meletus di Khurasan yang dengan cepat
mendapat gelombang dukungan dari masyarakat luas, hingga mereka bisa
menggulingkan pemerintahan Bani Umaiyah.
Maka, terjadilah pergantian kekhalifahan. Bani Abbasiyah
mulai melakukan pembagian kekuasaan dengan mitra politiknya dan mulai
mengusir—bahkan—keturunan-keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as, di manapun
mereka ditemukan. Mereka melakukan kejahatan itu semua dengan sangat hati-hati.
Khalifah pertama Bani Abbasiyah ialah Manshur Dawaniqi. Dia
menjalankan pemerintahan tangan besi dan merencanakan pembunuhan atas setiap
penentangnya. Dia membunuh Muhammad dan saudaranya, Ibrahim, yang keduanya
adalah dari keturunan Imam Hasan as.
Manshur juga menyebarkan mata-matanya di setiap kota. Secara
khusus dia memerintahkan gubernur Madinah untuk mewaspadai setiap gerak gerik
Imam Ja‘far as.
Pernah suatu kali Manshur mengundang Imam Ja‘far as dan
berkata, “Mengapa engkau tidak mengunjungi kami sebagaimana orang-orang
mendatangi kami?”
“Tidak ada urusan dunia yang membuat kami kuatir terhadapmu,
dan tidak ada pula urusan akhiratmu yang bisa kami harapkan darinya. Begitu
pula, tidak ada kenikmatanmu yang bisa kami syukuri, dan tidak pula kesusahanmu
yang bisa kami sesalkan”, jawab Imam as.
Dengan liciknya, Manshur menawarkan, “Kalau begitu, jadilah
temanku agar engkau bisa menasehatiku?”
Imam as kembali menjawab, “Siapa saja yang menginginkan
dunia, ia tidak akan menasehatimu, dan siapa saja yang menginginkan akhirat, ia
pun tidak akan menjadi temanmu.”
Manshur memerintahkan gubernurnya di Madinah untuk mengikis
habis citra dan pengaruh besar Imam Ali bin Ali Thalib as di sana.
Hingga pada suatu hari, guberbur Madinah naik mimbar dan
mulai mencaci maki Imam Ali as serta keluarganya. Tiba-tiba Imam Ja‘far as
bangkit dan berkata, “Adapun sanjungan yang telah kau sampaikan, maka kamilah
pemiliknya, dan segala hujatan yang telah kau katakan, maka kau dan
sahabatmulah (Manshur) yang lebih pantas menjadi sasarannya.”
Lalu Imam as menoleh kepada khalayak sembari berkata, “Aku
peringatkan kepada kalian akan orang yang paling ringan timbangan amalnya, yang
paling jelas merugi di Hari Kiamat, dan yang paling celaka keadaannya. Yaitu,
orang yang menjual akhirat dengan kesenangan duniawi orang lain. Orang itu
adalah gubernur yang fasik ini.”
Gubenur itu segera turun dari mimbar sambil menanggung
segunung rasa malu dan hina.
Dikisahkan, pada suatu saat di sebuah ruang pertemuan, ada
seekor lalat bermain-main di hidung Manshur. Berulang kali dia mengusirnya.
Lalat itu tetap saja kembali, sehingga dia merasa kesal dan berang. Ia
berpaling kepada Imam Ja‘far as dan berkata, “Untuk apa Allah menciptakan
lalat?”
“Untuk menghinakan hidung orang sombong.” Jawab Imam as.
Manshur begitu geram. Dia tak tahan lagi melihat keberadaan
Imam as di bawah pemerintahannya. Untuk itu, dia merencanakan pembunuhan atas
beliau. Akhirnya, dia pun berhasil meracuni beliau.
Imam Ja‘far as meninggal syahid pada 25 Syawal. Tubuhnya
yang suci dikebumikan di pemakaman Baqi‘,Madinah Al-Munawwarah.[]
Mutiara Hadis Imam Ja‘far as
• “Waspadalah terhadap tiga orang: pengkhianat, pelaku
zalim, dan pengadu domba. Sebab, seorang yang berkhianat demi dirimu, ia akan
berkhianat terhadapmu dan seorang yang berbuat zalim demi dirimu, ia akan
berbuat zalim terhadapmu. Juga seorang yang mengadu domba demi dirimu, ia pun
akan melakukan hal yang sama terhadapmu.”
• “Tiga manusia adalah sumber kebaikan: manusia yang
mengutamakan diam (tidak banyak bicara), manusia yang tidak melakukan ancaman,
dan manusia yang banyak berzikir kepada Allah.”
• “Sesungguhnya puncak keteguhan adalah tawadhu’.” Salah
seorang bertanya kepada Imam, “Apakah tanda-tanda tawadhu’ itu?” Beliau
menjawab, “Hendaknya kau senang pada majlis yang tidak memuliakanmu, memberi
salam kepada orang yang kau jumpai, dan meninggalkan perdebatan sekalipun
engkau di atas kebenaran.”
• Seorang laki-laki seringkali mendatangi Imam Ja‘far as,
kemudian dia tidak pernah lagi datang. Tatkala Imam as menanyakan keadaannya,
seseorang menjawab dengan nada sinis, “Dia seorang penggali sumur.” Imam as
membalasnya, “Hakekat seorang lelaki ada pada akal budinya, kehormatannya ada
pada agamanya, kemuliannya ada pada ketakwaannya, dan semua manusia sama-sama
sebagai Bani Adam.”
• “Hati-hatilah terhadap orang yang teraniaya, karena doanya
akan terangkat sampai ke langit.”
• “Ulama adalah kepercayaan para rasul. Dan bila kau temukan
mereka telah percaya pada penguasa, maka curigailah ketakwaan mereka.”
• “Tiga perkara dapat mengeruhkan kehidupan: penguasa zalim,
tetangga yang buruk, dan perempuan pencarut. Dan tiga perkara yang tidak akan
damai dunia ini tanpanya, yaitu keamanan, keadilan, dan kemakmuran.”
Riwayat Singkat Imam Ja‘far as
Nama :
Ja‘far.
Gelar
: Ash-Shadiq.
Panggilan : Abu Abdillah.
Ayah
: Muhammad bin Ali Al-Baqir as.
Ibu
: Ummu Farwah.
Kelahiran : Madinah, 17 Rabiul Awal 80 H.
Kesyahidan
: 25 Dzulhijjah 148 H.
Makam : Pemakaman Baqi‘,
Madinah.
Komentar
Posting Komentar