IMAM MUSA AL-KAZHIM, PELINDUNG KAUM TERTINDAS
Hari Lahir
Imam Musa Al-Kazhim as lahir pada hari Ahad, bertepatan
dengan 7 Shafar tahun 120 Hijriah di sebuah lembah bernama Abwa’ yang terletak
di antara Makkah dan Madinah. Ibunda beliau bernama Hamidah. Imam as mencapai
kedudukan Imamah pada usia 21 tahun.
Abu Bashir menuturkan, “Kami bersama Imam Ja’far melakukan
perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tidak lama setelah tiba di
sebuah tempat yang dikenal dengan Abwa’ dan menyantap sarapan pagi di sana,
Imam mendapat kabar bahwa Allah SWT telah menganugerahinya seorang putra.
Dengan penuh suka-cita, Imam Ja’far segera menemui istrinya, Hamidah. Tidak
lama kemudian, beliau kembali dengan wajah berseri dan berkata, “Allah SWT
telah memberiku seorang anak. Kelahiran putraku ini merupakan anugerah terbaik
dari-Nya.”
Ibundanya bercerita bahwa ketika putranya lahir, ia merebah
sujud dan memanjatkan rasa syukurnya kepada Allah SWT. Perbuatan ini merupakan
tanda imamah beliau.
Saat tiba di Madinah, Imam Ja’far Ash-Shadiq as
menghidangkan jamuan makan selama tiga hari, mengundang orang-orang miskin, dan
orang-orang yang tertimpa kesusahan.
Ya’qub As-Sarraj menuturkan, “Aku mengunjungi Imam
Ash-Shadiq as di Madinah. Aku melihatnya berdiri di dekat ayunan putranya, Musa
Al-Kazhim as. Aku mengucapkan salam kepada beliau, dan dengan tatapan yang
cerah beliau membalas salamku. Beliau berkata, ‘Mari mendekat kepada Imam dan
sampaikan salam padanya.’ Aku mendekatinya dan menyampaikan salam. Imam Ja’far
berkata, ‘Allah SWT telah menganugerahimu seorang putri dan engkau telah
memberinya nama yang kurang pantas untuknya. Pergilah dan gantilah namanya.’”
Ibunda Musa Al-Kazhim as adalah seorang budak yang dibeli
oleh Imam Ja’far. Meskipun demikian, ibunda telah mendapatkan pengajaran ilmu
dari Imam Ja’far as, yang menjadikannya sebagai wanita yang memiliki keluasan
ilmu dan kecakapan dalam bidang ilmu-ilmu agama. Sehingga, terkadang Imam
Ja’far meminta para wanita untuk bertanya masalah-masalah agama kepadanya.
Periode kehidupan Imam Musa Al-Kazhim as dapat dibagi
menjadi dua bagian:
Pertama, kehidupan beliau bersama ayahandanya di
Madinah selama 20 tahun. Periode ini berlangsung sebelum beliau mencapai
Imamah.
Kedua, masa-masa awal perlawanan, pemenjaraan, dan
pengasingan yang menimpa kehidupan Imam as.
Akhlak Imam Musa
Meskipun postur tubuh Imam Musa Al-Kazhim as kurus, namun
beliau memiliki jiwa yang kuat. Baju dalam beliau terbuat dari bahan kain
kasar. Beliau kadang-kadang berjalan kaki di tengah keramaian penduduk,
menyampaikan salam pada mereka, mencintai keluarganya, dan menghormati mereka.
Imam Musa Al-Kazhim adalah orang yang sangat peduli pada
kehidupan kaum fakir miskin dan orang-orang yang tertimpa musibah. Pada malam
hari, beliau memikul makanan di pundaknya untuk dibagikan kepada mereka yang
membutuhkan secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh mereka tentang
keberadaan beliau. Bahkan, setiap bulannya, Imam memberikan santunan kepada
beberapa orang di antara mereka.
Salah seorang sahabat Imam bercerita tentang ketabahan dan
kesabaran beliau. Ia menuturkan, “Musuh-musuhnya terkadang merasa malu dan
berkecil hati atas akhlak luhur yang ditunjukkan oleh Imam.”
Pada suatu waktu, seorang warga Madinah melihat Imam Musa.
Ia menghadang beliau lalu menyampaikan kata-kata kasar dan makian terhadap
beliau. Para sahabat Imam berkata, “Izinkan kami untuk menghajarnya, wahai
Imam!”
Imam berkata, “Biarkanlah, jangan kalian ganggu dia.”
Beberapa hari kemudian, tidak ada berita tentang orang
tersebut. Imam menanyakan ihwal kesehatan orang itu. Penduduk kota menjawab,
“Ia pergi bercocok tanam di ladangnya yang terletak di luar kota Madinah.”
Mendengar kabar tersebut, Imam as segera menunggang kudanya dan bergerak menuju
ke ladang orang tersebut.
Ketika orang itu melihat kedatangan Imam as, ia berteriak
dengan lantang dari kejauhan, “Jangan sekali-kali kau menginjakkan kakimu di
ladangku. Aku adalah musuhmu dan musuh datuk-datukmu.”
Namun, Imam malah mendekatinya, menyampaikan salam, dan
menanyakan kesehatan serta keadaan hidupnya. Dengan penuh ramah Imam bertanya,
“Berapa Dinar yang Anda habiskan untuk biaya ladangmu ini?”
Ia menjawab, “Seratus Dinar.”
Imam bertanya lagi, “Berapa banyak keuntungan yang Anda
harapkan dari semua ini?”
Orang itu menjawab, “Dua ratus Dinar.”
Mendengar jawaban ini, Imam mengambil sekantung uang yang berisi
tiga ratus Dinar dan memberikannya pada orang tersebut. Imam berkata, “Ambillah
uang ini, dan ladang ini tetap menjadi milikmu.”
Orang yang selama ini berlaku kurang ajar dan kasar kepada
Imam itu, tidak pernah menyangka akan mendapatkan perlakuan sesantun itu dari
Imam.
Ketika hendak kembali ke Madinah, Imam berpesan, “Lepaskan
amarahmu dengan cara seperti ini.” Yakni, tetap menunjukkan akhlak yang luhur.
Al-Kazhim adalah sebuah gelar yang berarti orang yang mampu
mengendalikan amarahnya ketika mendapat gangguan dan membalasnya dengan
kebaikan serta penghormatan. Perbuatan mulia ini telah membuat musuh-musuhnya
menjadi begitu malu.
Salah satu kebiasaan Imam Musa as ialah menunjukkan cinta
kasih dan kehangatannya kepada kerabat beliau. Beliau berkata, “Apabila terjadi
permusuhan di antara kerabat, lalu mereka saling berjabatan tangan ketika
mereka berjumpa, maka permusuhan itu akan pergi dan sesama mereka akan saling
mencintai satu sama lainnya dan sama-sama menyambut gembira.”
Sikap Pemurah Imam
Imam Musa Al-Kazhim as masyhur di antara para penduduk
dengan kemurahan dan keramahannya, seperti perbuatan beliau membebaskan seribu
budak, atau pun bantuan beliau kepada mereka yang dalam kesulitan dan terhimpit
masalah hidup, serta melunasi utang orang-orang yang terlilit utang.
Ibnu Sharashab menukil, “Suatu hari, Khalifah Manshur
mengundang Imam Musa ke istananya dan meminta beliau untuk duduk di singgasana
khalifah pada hari tahun baru dan membawa pulang hadiah-hadiah yang dihaturkan
oleh para tamu. Meskipun Imam tidak begitu tertarik untuk memenuhi undangan
itu, namun beliau dengan terpaksa menerimanya.
“Beliau duduk di singgasana itu. Atas perintah Khalifah
Manshur, para pengawal kerajaan, keluarga istana, dan para pembesar yang ikut
dalam acara resmi tersebut menyerahkan hadiah-hadiah mereka kepada Imam.
Manshur memerintahkan salah seorang pelayannya untuk mencatat secara detail
jumlah hadiah itu dan menyiapkan perlengkapannya untuk dibawa oleh Imam.
“Di akhir acara itu, seseorang yang sudah berusia lanjut
datang dan berkata, ‘Wahai putra Rasulullah, aku tidak memiliki sesuatu pun
untuk aku haturkan kepadamu. Akan tetapi, aku memiliki beberapa syair yang
berhubungan dengan duka nestapa yang menimpa datukmu, Imam Husain as. Hanya
syair inilah yang dapat kupersembahkan kepadamu.’
“Orang itu kemudian melantunkan syairnya di hadapan Imam dan
meninggalkan kesan yang luar biasa dalam diri beliau. Beliau meminta pengawal
Manshur untuk pergi menjumpai Manshur dan menanyakan tentang apa yang harus
dilakukan dengan hadiah-hadiah tersebut.
“Pengawal tersebut beranjak menjumpai Manshur, dan setelah
kembali ia mengatakan, ‘Khalifah mengatakan bahwa seluruh hadiah itu telah
diserahkan kepadamu sepenuhnya. Kau bisa serahkan kepada siapa saja yang kau
kehendaki.
“Pandangan Imam jatuh kepada orang tua tadi. Kepadanya
beliau mengatakan, ‘Demi syair yang telah Anda lantunkan sehubungan dengan
bencana yang menimpa datukku, aku anugerahkan hadiah ini untukmu sehingga
dengannya Anda bebas dari kemiskinan dan penderitaan.’”
Imam Musa Bekerja
Imam Musa Al-Kazhim as bercocok tanam sendiri di ladang yang
menjadi kekayaan pribadi beliau. Dari hasil cocok tanam itu, Imam
membelanjakannya untuk keperluan hidup sehari-hari. Kadang-kadang, kerja keras
di ladang membuat seluruh badan beliau basah kuyup dengan peluh.
Suatu hari, salah seorang sahabat Imam yang bernama Ali
Bathaini—yang memiliki hubungan kerja dengan Imam—mendatangi beliau di ladang.
Ketika ia melihat Imam dalam kepayahan, ia pun menjadi sedih dan berkata,
“Semoga jiwaku menjadi tebusanmu wahai Imam, mengapa Anda tidak membiarkan
orang lain untuk melakukan pekerjaan ini?”
Imam menjawab, “Mengapa aku harus membebankan pekerjaan ini
ke pundak orang lain sementara mereka lebih baik dalam melakukan pekerjaan ini
daripada aku.”
Aku bertanya, “Siapakah mereka itu?”
Imam berkata, “Rasulullah saw, Amirul mukminin Ali as,
ayahandaku, dan datukku.”
Bekerja dan berpeluh adalah sunah para nabi, para Imam, dan
para hamba Allah yang saleh. Mereka ini senantiasa bekerja dan bersusah payah.
Mereka memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan hasil kerja yang mereka
usahakan sendiri.
Cara Dakwah Imam Musa
Suatu ketika, Imam melintasi sebuah jalan. Denting suara
musik dan dendang lagu terdengar hingga keluar rumah. Pemilik rumah tersebut
adalah seorang tuan yang terpandang. Dia telah membangun sebuah tempat untuk
bersenang-senang dan membuatnya bergembira ria.
Tiba-tiba seorang budak keluar dari rumah itu untuk membuang
sampah di sudut jalan. Secara kebetulan, ia melihat Imam dan berdiri terdiam.
Lalu, ia memberikan salam kepada Imam.
Sang Imam bertanya padanya, “Apakah pemilik rumah ini adalah
seorang hamba atau seorang merdeka?”
Ia menjawab , “Seorang yang merdeka.”
Imam berkata lagi, “Tentu saja dia seorang yang merdeka.
Jika dia seorang hamba, tentu dia memiliki rasa takut kepada Allah SWT dan
tidak akan mengerjakan perbuatan sia-sia ini.”
Budak itu kembali masuk rumah. Tatkala tuannya menanyakan
keterlambatannya, ia menceritakan perjumpaan dan perbincangannya dengan Imam di
luar tadi.
Orang itu sejenak merenungi perbincangan itu. Ia merasakan
perkataan Imam di atas begitu menyentuh hatinya. Segera ia bangkit dari tempat
duduknya dan dengan kaki telanjang ia berlari menyusul Imam dari belakang
hingga berjumpa dengan beliau. Orang itu memberikan salam kepada Imam dan
menyampaikan penyesalannya di hadapan beliau.
Sejak saat itu, ia mengubah pusat hiburan itu menjadi tempat
ibadah, dan setiap hari ia berjalan dengan kaki telanjang. Orang ini kemudian
dikenal dengan nama “Basyri Al-Hafi”, yang berarti Si Basyri yang berjalan
dengan kaki telanjang.
Kezuhudan dan Ibadah
Imam Musa Al-Kazhim as sangat terkenal dengan kezuhudan dan
ibadahnya sehingga di mana pun orang bercerita tentang beliau, mereka pasti
berkomentar, “Beliau adalah seorang pecinta ibadah.”
Syaikh Mufid menulis tentang Imam as, “Di zaman itu, beliau
adalah orang yang paling saleh dan bertakwa. Pada malam harinya, beliau larut
dalam shalat. Bilamana melaksanakan sujud, beliau senantiasa memanjangkannya
sementara air matanya luruh hingga membasahi janggut beliau.”
Syablanji, seorang ulama Ahlusunah menulis, “Imam Musa
Al-Kazhim as adalah orang yang paling bertakwa dan zuhud pada zamannya. Beliau
sangat arif, bijaksana, pemurah, dan pengasih kepada siapa saja. Beliau
membantu dan merawat orang-orang yang malang. Waktunya banyak dihabiskan untuk
mengerjakan ibadah tanpa diketahui oleh orang banyak. Beliau berkata, ‘Ya
Allah, mudahkanlah kematianku dan ampuni dosa-dosaku saat aku dihadapkan
pada-Mu di Hari Kiamat.’”
Imam Musa as merupakan seorang pecinta Tuhan sejati sehingga
membuat orang-orang menjadi takjub dan terheran-heran. Sampai-sampai beliau pernah
membuat Fadhl, si kepala penjara ikut menangis.
Begitu pula pelayan wanita khusus Khalifah Harun yang diutus
ke penjara untuk menggoda Imam as, dan membuat beliau tertarik kepadanya
sehingga Harun menemukan alasan untuk menghukum beliau. Di dalam penjara,
pelayan wanita itu malah terpukau oleh perangai Imam, sehingga ia kembali
menghadap Harun dalam keadaan menangis, dan menyatakan keberatannya atas
keputusan Harun memenjarakan Imam as.
Tragedi Fakh
Atas perintah Imam Musa Al-Kazhim as, seorang Alawi
(keturunan Imam Ali) asal Madinah bernama Husain bin Ali melakukan
pemberontakan terhadap Al-Hadi yang menjadi khalifah Dinasti Abbasiyah ketika
itu. Beserta dengan tiga ribu pasukan, Husain bangkit melawan pemerintahan
Abbasiyah karena kejahatan dan kezaliman mereka terhadap anak keturunan Ali bin
Abi Thalib as.
Namun, pasukan Al-Hadi berhasil mengepung mereka di tanah
Fakh dan melakukan pembantaian massal di tempat itu, yaitu memenggal kepala
mereka, satu persatu. Kepala-kepala yang terpenggal itu dan para tawanan perang
dibawa ke hadapan Al-Hadi. Dia memberi perintah kepada algojonya untuk membunuh
para tawanan itu.
Peristiwa ini dikenal dalam sejarah sebagai tragedi Fakh dan
pejuang ‘Alawi itu dikenal dengan “Husain”, Sang Syahid Fakh.
Hijrah Pertama ke Baghdad
Manshur tewas dibunuh pada 158 H. Segera anaknya, Al-Mahdi
naik tahta sebagai khalifah yang menggantikan ayahnya, ia memberlakukan
siasat-siasat keji atas masyarakat. Ia bertingkah seakan-akan seorang alim yang
taat beragama di hadapan khalayak, tetapi di belakang ia justru senantiasa
berbuat zalim dan maksiat.
Ketika memegang kekuasaan, Khalifah Al-Mahdi membebaskan
para tahanan politik, di antaranya Imam Musa as, dan mengembalikan harta yang
dirampas dari tangan mereka. Akan tetapi, ia juga memberikan hadiah yang besar
kepada para penyair yang memaki dan melaknat keluarga Ali bin Abi Thalib as.
Seperti ketika ia memberikan hadiah 70.000 Dirham kepada Busyr bin Burd dan
100.000 Dirham kepada Marwan karena syair-syair mereka berisikan laknat dan
makian terhadap keluarga Imam Ali as.
Ia menghabiskan harta negara untuk berfoya-foya dan
bersenang-senang, seperti ketika ia menghabiskan 59.000.000 Dirham untuk pesta
pernikahan anaknya, Harun.
Suatu ketika, mata-mata Al-Mahdi melaporkan popularitas Imam
dan kecondongan masyarakat kepada beliau. Mendengar berita itu, dia benar-benar
geram dan segera memerintahkan orang-orang dekatnya untuk membawa Imam as dari
Madinah ke Baghdad dan memenjarakannya di sana.
Abu Khalid berkata, “Suatu hari Imam dikawal oleh pasukan
resmi kerajaan tiba di rumahku di Zubala. Dalam waktu yang singkat itu, Imam
sempat lepas dari pengawalan pasukan kerajaan itu, dan beliau memintaku untuk
membelikan beberapa barang. Aku sangat sedih dan menangis melihat keadaan Imam
seperti itu. Kepadaku Imam mengatakan, ‘Jangan risaukan aku, karena aku akan
segera kembali, dan nantikan aku hingga hari itu, di tempat itu.’
“Aku persembahkan diriku atas apa yang telah Imam
perintahkan kepadaku. Kulihat beliau memimpin kafilah tersebut. Dengan gembira
Aku maju ke depan dan mencium Imam. Beliau berkata, ‘Wahai Abu Khalid, mereka
akan membawaku kembali ke Baghdad dan aku tidak akan kembali dari perjalanan
itu.’
“Ketika aku mencari tahu alasan mengapa Imam dibebaskan, aku
menjadi tahu bahwa Al-Mahdi melihat Imam Ali bin Abi Thalib as dalam mimpinya,
pada malam yang sama. Dalam mimpinya itu, dia melihat Imam Ali dengan tatapan
marah dan memberi peringatan kepadanya. Karena ketakutan, pada pagi harinya dia
pun melepaskan Imam dan mengirimnya kembali ke Madinah dengan segenap hormat
dan santun.”
Meskipun keadaan yang mencekik dan menyiksa di Madinah, Imam
Musa as tetap giat membimbing dan menuntun warga kota. Tidak lama berselang,
Al-Mahdi meninggal dunia dan anaknya Al-Hadi naik tahta menggantikannya sebagai
khalifah.
Berbeda dengan ayahnya, Al-Hadi memulai permusuhan dan
penindasannya terhadap anak keturunan Imam Ali as tidak lagi sembunyi-sembunyi,
tetapi malah terang-terangan. Perbuatannya yang paling jahat ialah
pembantaiannya terhadap anak keturunan Ali as yang kemudian dikenal dengan nama
“Tragedi Fakh”, dan oleh ahli sejarah dicatat sebagai tragedi terkejam kedua
setelah tragedi Karbala.
Al-Hadi adalah orang yang berlumuran dosa, berperangai
jahat, dan sama sekali tidak layak menduduki kursi kekhalifahan. Ia
menghabiskan uang sewenang-wenang, hanya untuk berpoya-poya dan
bersenang-senang, dan memberikan hadiah yang melimpah kepada mereka yang
membacakan syair dan yang mendendangkan lagu untuknya.
Al-Hadi meninggal pada tahun 170 H. Lalu Harun menggantikan
kedudukannya sebagai khalifah. Ketika itu, Imam telah berusia 42 tahun.
Setelah dibaiat oleh orang-orang setianya, Harun melantik
Yahya Barmaki—berkebangsaan Iran—sebagai menterinya dan memberikan wewenang
yang penuh kepadanya. Harun sendiri menyibukkan dirinya menguras kekayaan
negara “Baitul Mal” yang ketika itu sedang melimpah.
Ia menghabiskan seluruh kekayaan negara itu secara
berlebih-lebihan untuk berfoya-foya dan bersenang-senang. Bahkan untuk pembelanjaan
suatu acara makan, dia menghabiskan biaya senilai 4.000 Dirham.
Kecongkakan Harun
Harun sangat terusik dengan perlawanan anak keturunan Ali as
terhadap Dinasti Abasiyah. Ia menggunakan segala cara untuk menjauhkan
masyarakat dari keluarga Ali as. Ia pun memberikan uang yang melimpah kepada
para pujangga yang mendendangkan syair-syair berisikan makian, hujatan, dan
cemoohan terhadap mereka. Oleh karena itu, Harun memberikan izin kepada salah
seorang pujangga—yang bait-bait syairnya menghujat keluarga Ali—masuk ke dalam
gudang kekayaannya untuk memilih dan mengambil barang sesuka hatinya.
Harun mengasingkan anak keturunan Ali as dari Baghdad ke
Madinah, dan membunuh banyak di antara mereka.
Hamid bin Fathaba, gubernur Khalifah Harun di Khurasan,
menukil kepada Abdullah Al-Bazzaz An-Naisyaburi, “Harun memiliki satu taman di
Naisyabur yang dikunjunginya setiap tahun. Pada suatu waktu, ia memanggilku di
tengah malam dan berkata, ‘Tunjukkan seberapa tinggi imanmu kepadaku?’
Aku berkata, “Aku korbankan hidup dan hartaku untukmu.’
Ia berkata, ‘Apa lagi?’
Kujawab, ‘Kehormatanku, istriku, dan anakku, semua itu
untukmu.’
Ia bertanya lagi, ‘Lalu apa lagi?’
Kukatakan, ‘Agamaku.’
Harun menegakkan kepalanya dan berkata sambil tertawa, ‘Anda
telah mengatakan apa yang aku nantikan. Mendekatlah, ambil pedang ini dan
laksanakan perintah yang disampaikan budakku kepadamu!’
“Budak Harun itu menuntunku ke sebuah rumah yang menyekap
enam puluh orang. Mereka adalah anak-anak muda dan orang-orang tua keluarga Ali
as. Kemudian ia menyeret mereka satu persatu dan memerintahkan aku untuk
membunuh mereka. Aku dengan setia mematuhi perintah Harun tersebut. Setelah aku
mengeksekusi mereka, aku buang mayat-mayat itu ke dalam sebuah sumur yang penuh
dengan lumpur di sebuah kampung.
“Duhai sahabatku! Setiapkali aku mengingat tragedi memilukan
ini, tubuhku bergetar dan bulu romaku merinding. Dengan segala kekejian dan
kejahatannya, Harun masih memerintahkan aku untuk menggali kuburan Imam Husain
as dan menghancurkan pusaranya dengan maksud agar orang-orang tidak dapat
menziarahinya lagi.”
Ikrar Imam Musa Al-Kazhim
Sudah jelas mengapa Imam Musa Kazhim as begitu tegasnya
menolak untuk bekerja sama dengan pemerintahan zalim dan biadab seperti Dinasti
Abasiyah. Beliau tidak dapat berdiam diri di hadapan kezaliman mereka. Oleh
karena itu, beliau bangkit memberontak melawan pemerintahan Harun.
Di mana saja tempat yang dianggap perlu, Imam as
menyingkapkan kekejaman dan kebejatan perangai Harun kepada masyarakat. Hal ini
tentu saja membuat Harun menjadi malu dan tercoreng namanya di hadapan mereka.
Selain itu, Imam Musa as memerintahkan beberapa sahabatnya
untuk menolak segala bentuk kerja sama dan bantuan dari pemerintahan Harun.
Misalnya kepada Shafwan, sahabat setia Imam. Kepadanya beliau berkata, “Engkau
adalah orang yang berbudi baik dalam segala hal kecuali satu, yaitu engkau
telah menyewakan untamu kepada Harun.”
Shafwan menjawab, “Aku menyewakan untaku kepadanya hanya
pada musim haji saja, dan aku pun tidak menyertai perjalanannya.”
Imam berkata, “Hai Sofwan, tidakkah kau akan gembira sampai
untamu kembali, dan Harun tetap hidup sehingga kau menerima uang sewa darinya?”
Ia menjawab, “Ya, betul.”
Imam berkata lagi, “Barang siapa yang suka bila seorang
zalim tetap hidup, maka ia pun termasuk bagian darinya.”
Walaupun Shafwan telah menandatangani perjanjian
sewa-menyewa dengan Harun yang mensyaratkan supaya Shafwan menyediakan
perlengkapan perjalanan haji kepada Khalifah, namun setelah mendengar ucapan
Imam Musa as itu, ia pun menjual seluruh unta yang dimilikinya. Harun kemudian
memanggil dan mendesaknya untuk mengatakan alasan apa sehingga menjual seluruh
unta itu tanpa sedikit pun memberi kabar kepadanya.
Akhirnya, Harun mengerti apa yang telah terjadi dan berkata
kepada Shafwan, “Sekiranya aku tidak mengingat hubungan persahabatan yang dulu
terjalin di antara kita, maka detik ini juga aku perintahkan algojoku untuk
memenggal kepalamu. Aku tahu siapa yang memberikan perintah ini kepadamu. Musa
bin Ja’far yang telah memerintahkan ini padamu.”
Walaupun Imam as tidak membolehkan seorang pun untuk
berkerja sama dengan Harun, akan tetapi beliau memerintahkan seseorang yang
pandai tentang seluk-beluk pemerintahan untuk menyusup dan membangun pengaruh
di dalam pemerintahan Harun Ar-Rasyid, dan membantu sahabat-sahabat Imam yang
kesusahan, serta melaporkan informasi, rencana, atau keputusan yang telah
diambil oleh pemerintah.
Dalam rangka ini, beliau memberikan izin kepada Ali bin
Yaqthin untuk mengemban tugas ini dan berhasil menjabat sebagai salah satu
menteri Harun Ar-Rasyid. Dengan tugas ini, Ali dapat membantu
sahabat-sahabatnya dan pengikut-pengikut Imam as.
Suatu hari, Imam menulis surat yang isinya meminta Ali bin
Yaqtin, “Bila tidak ada orang yang melihatmu, kau dapat mengambil wudhu sesuai
dengan ajaran Imam. Namun, bila ada yang menemanimu, maka berwudhulah dengan
cara mereka. Terima hadiah-hadiah yang diberikan padamu dan jangan engkau
tolak.” Penerimaan hadiah itu adalah salah satu cara Harun menguji
kesetiaan orang-orangnya.
Dialog Harun dan Imam Musa Al-Kazhim
Harun senantiasa berusaha bertanya tentang sesuatu yang
dapat membuat Imam tidak berkutik menjawabnya. Sehingga dengan siasat ini, dia
dapat menjatuhkan citra dan kedudukan Imam di tengah masyarakat.
Pada suatu kesempatan, Harun berkata kepada Imam as, “Aku
ingin menyampaikan sebuah pertanyaan yang hingga kini aku belum temukan
jawabannya.”
Imam, “Jika aku memiliki kebebasan dalam menyampaikan
pendapat, aku akan menjawab pertanyaanmu itu.”
Harun, “Tentu, Anda bebas menyampaikan pendapat Anda.
Katakan padaku, mengapa Anda menganggap bahwa Anda lebih unggul di atasku
padahal kita berdua dari satu garis keturunan. Bukankah kita berdua berasal
dari Bani Hasyim?”
Imam, “Kami lebih dekat kepada Nabi saw dari pada Anda.
Sebab, ayah kami adalah Abu Thalib dan ayah Nabi Muhammad saw adalah dua
bersaudara dari ibu dan ayah yang sama. Tetapi ayahmu Abbas hanya memiliki
nasab (hubungan) dari pihak ayah saja.”
Harun, “Sewaktu Nabi wafat, ayahmu, Abu Thalib telah lebih
dahulu wafat, tapi ayah kami, Abbas masih tetap hidup. Jelas bahwa selama paman
masih hidup, Anda sebagai sepupu tidak dapat menerima warisan.”
Imam, “Selama seorang anak masih hidup, paman tidak berhak
menerima warisan. Dan ketika itu Fatimah masih hidup, maka ayahmu Abbas tidak
memiliki hak untuk menerima warisan.”
Harun melontarkan pertanyaan lain, “Mengapa Anda membiarkan
orang-orang memanggilmu dengan sebutan putra Rasulullah, sementara Anda ini
putra Ali bin Abi Thalib. Karena, nasab setiap orang itu menurut pada garis
ayahnya, sedangkan Rasulullah adalah kakekmu tapi dari garis ibu.”
Imam, “Jika sekiranya Rasulullah hidup dan meminang putrimu,
apakah engkau bersedia untuk menerima pinangan beliau dan memberikan putrimu
padanya?”
Harun, “Tentu saja, setiap bangsa Arab atau pun Ajam akan
menerimanya dengan penuh kebanggan dan kehormatan.”
Imam, “Tetapi Rasulullah tidak akan pernah meminang putriku
untuk beliau nikahi.”
Harun, “Mengapa demikian?”
Imam: “Karena, beliau adalah ayahku walaupun dari pihak ibu,
sedangkan beliau bukan ayahmu sama sekali. Dengan demikian, aku menganggap
diriku sebagai putra Rasulullah.”
Harun duduk diam seribu bahasa setelah mendengarkan jawaban
Imam yang seakan-akan meremukkan tubuhnya. Lalu ia mempersilahkan Imam untuk
memintanya sesuka hati beliau. Imam berkata, “Aku tidak ingin apa pun darimu.
Biarkan saja aku pergi melakukan pekerjaanku.”
Pengkhianatan Seorang Kerabat
Kemenakan Imam yang bernama Ali bin Ismail diundang oleh
sahabat Harun untuk menemaninya ke Baghdad guna memberi kabar kepada Harun
perihal keadaan Musa bin Ja’far. Ketika Imam diberi tahu tentang undangan itu,
beliau memanggil kemenakannya itu dan berkata, “Ke manakah kau hendak pergi?”
Ali bin Ismail menjawab, “Ke Baghdad.”
Imam berkata, “Untuk keperluan apa kau ke sana?.”
Ia menjawab, “Aku terlilit utang. Barangkali dengan
kepergian ini aku mendapatkan uang untuk membayar utangku itu.”
Imam berkata lagi, “Aku yang akan membayar seluruh utangmu
itu dan mencukupi keperluan hidupmu beserta keluargamu.”
Tetapi Ismail menolak tawaran Imam tersebut dan bersikeras
untuk tetap pergi. Kepada Imam ia berkata, “Aku tetap akan pergi dan aku
meminta nasihat darimu.”
Imam berkata padanya, “Aku wasiatkan kepadamu dan ini adalah
perintahku. Engkau jangan turut serta dan mengambil andil dalam penumpahan
darahku, karena akibatnya akan buruk untukmu kelak.”
Ismail bertanya, “Apa maksud perkataan Anda ini?” Ia
mendesak Imam untuk memberinya nasihat. Imam kembali mengulangi perkataannya
kepada Ismail. Ia tidak tahu bahwa Imam mengetahui apa yang akan terjadi.
Ismail beranjak pergi meninggalkan Imam. Beliau memberikan
300 Dinar kepadanya dan berkata, “Ini untuk anak-anakmu.” Ismail mengambil uang
tersebut dan pergi.
Setelah kepergian Ismail, Imam menyampaikan pesan kepada
orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu. Beliau berkata, “Demi Allah,
kemenakanku ini akan turut andil dalam pembunuhanku dan menjadikan anak-anakku
yatim.”
Para hadirin bertanya-tanya, “Wahai putra Rasulullah, jika
Anda mengetahui dia akan berlaku khianat padamu, lalu mengapa Anda masih saja
membantunya?”
Beliau menjawab, “Datukku Rasulullah bersabda, ‘Jika
seseorang berbuat baik dan mencintai kerabatnya dan si kerabat itu membalasnya
dengan perbuatan jahat, maka Allah akan mengazabnya dan ia tidak akan pernah
sampai pada apa yang ditujunya.”
Ismail tiba di Baghdad dan berkunjung ke kediaman Yahya
Al-Barmaki. Setelah itu, bersama Yahya ia pergi menjumpai Harun. Ia
menyampaikan laporannya kepada Harun. Katanya, “Wahai Harun! Musa bin Ja’far
telah memerintah Madinah dan ia memiliki uang yang melimpah yang dikirim oleh
orang-orangnya dari berbagai tempat. Ia telah mengambil keputusan untuk
memberontak dan menggulingkan pemerintahanmu.”
Harun senang mendapatkan laporan dari Ismail itu dan memberi
uang sebanyak dua ratus Dirham kepadanya. Ismail dengan senang hati menerima
uang tersebut lalu segera pulang ke rumahnya di Madinah.
Namun, tiba-tiba rasa sakit menyerang tenggorokannya dan
mati seketika di tempat itu pula. Harun memutuskan untuk datang ke Madinah guna
menangkap Imam dan menjebloskannya ke dalam penjara.
Pada tahun yang sama, Harun menulis surat kepada seluruh
orang-orangnya untuk menyebar di Makkah dan Madinah. Sepulangnya dari Madinah,
ia memerintahkan gubernur Madinah untuk menangkap Imam dan mengirimnya ke
Bashrah. Imam as dipenjarakan selama satu tahun di sana. Ketika itu kota
Bashrah berada di bawah pemerintahan Gubernur Yahya Al-Barmaki.
Selama di penjara, akhlak, budi luhur, dan perilaku Imam
meninggalkan kesan yang dalam pada diri Yahya. Kesan itu memaksanya untuk
menulis surat kepada Harun, “Wahai Harun, aku tidak melihat sesuatu apa pun
pada diri Musa bin Ja’far selama dalam penjara kecuali kebaikan dan ketakwaan.
Aku tidak tahan lagi memenjarakannya. Terimalah ia agar kembali atau aku akan
bebaskan dia pergi.”
Maka, Harun memutuskan untuk memindahkan Imam dari Madinah
ke Baghdad. Atas perintahnya, beliau dipindahkan ke penjara Baghdad di bawah
pengawasan Fadhl. Seperti pengalaman Yahya, Fadhl pun terpesona oleh
kepribadian luhur Imam Musa as dan meminta Harun agar ia sendiri yang mengawasi
beliau.
Akhirnya, Imam dipindahkan lagi ke penjara Sindi bin Syahik,
seorang yang bengis dan kejam.
Imam melewatkan hari-harinya di penjara itu dengan shalat,
puasa, ibadah, dan doa. Semua itu menambah kedekatan diri beliau kepada Allah
SWT.
Perlawanan di dalam Penjara
Harun terus berupaya bagaimana caranya membunuh Imam Musa.
Suatu hari, dia mengutus Yahya bin Khalik ke penjara. Tugas yang diemban Yahya
adalah meminta Imam untuk tidak menentang Khalifah dan menawarkan pengampunan
serta pembebasan kepada beliau. Namun, Imam menolak semua tawaran itu.
Imam as menulis sepucuk surat kepada Harun yang berbunyi,
“Setiap hari kulalui dengan kesusahan, sementara kau lalui hari-harimu dengan
kesenangan. Lalu, kita akan sama-sama mati. Hingga di suatu hari yang tiada
akhirnya, kelak kita diberdirikan di hadapan Mahkamah Ilahi, ketika orang-orang
licik hanya akan menjadi pecundang dan terhinakan.”
Hari Kesyahidan
Alasan Harun mengapa dia harus memindahkan Imam Musa as dari
satu penjara ke penjara lain tidak ada lain adalah karena permintaannya kepada
setiap kepala penjara untuk membunuh Imam, namun mereka tidak bersedia untuk
memenuhi permintaan tersebut. Hingga akhirnya Sindi yang berhati keras itu
bersedia untuk meracun Imam as. Maka, di dalam penjara Sindi-lah beliau
meninggal akibat racun yang dibubuhkan ke dalam makanan beliau, tepatnya pada
tahun 183 H.
Harun dengan menggunakan saksi-saksi palsu dan orang-orang
bayaran mencoba menunjukkan kepada khalayak, bahwa kematian Imam Musa adalah
sebuah kematian yang wajar dan alamiah. Siasat licik dan keji ini digunakan
untuk menghindari pemberontakan sahabat-sahabat dan orang-orang setia Imam.
Namun, segala kelicikan dan siasat Harun sia-sia belaka. Seorang lelaki bernama
Sulaiman malah memimpin pemberontakan di Baghdad.
Setelah dikeluarkan dari penjara, mayat suci Imam Musa
Al-Kazhim as digeletakkan di atas jembatan begitu saja; dalam keadaan sunyi
senyap dan jauh dari keluarga serta umatnya. Ketika itu, hanya seorang tabib
yang kebetulan melewati jembatan dan menemukan mayat suci itu. Setelah
memeriksanya ia mengatakan, “Sesungguhnya Imam telah diracun hingga meninggal
oleh seorang pembunuh.”
Kesyahidan Imam as itu membuat kekalutan dan berita besar di
kota Baghdad. Sementara bagi pengikut-pengikut Ahlulbait, kesyahidan beliau
merupakan kesedihan dan kegetiran di hati-hati mereka.
Imam Musa Al-Kazhim as dikebumikan di pemakaman orang-orang
Quraisy di kota Kazhimain.
Sahabat-sahabat Imam Musa Al-Kazhim
Ketika ayahnya yang mulia, Imam Ja’far Ash-Shadiq as wafat,
murid-murid beliau memusatkan perhatian dan kesetiaan mereka kepada putranya,
Imam Musa as. Mereka menuntut ilmu kepada Imam as selama tiga puluh tiga tahun.
Beberapa murid beliau antara lain:
1. Ibnu Abi Umair
Ia belajar pada tiga Imam, yaitu Imam Musa Al-Kazhim as,
Imam Ali Ar-Ridha as, dan Imam Muhammad Al-Jawad as. Ibnu Abi Umair merupakan
salah seorang ulama terkenal pada zamannya. Ia meninggalkan banyak kitab-kitab
hadis sebagai tanda jasanya.
Beberapa orang memberi kabar kepada penguasa Abasiyah, bahwa
Ibnu Abi Umair adalah orang Syi’ah (pengikut Ahlulbait). Ia ditangkap dan
diinterogasi untuk menyebutkan nama-nama orang Syi’ah yang ia kenali. Namun,
tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya untuk memenuhi paksaan mereka. Ia
ditelanjangi dan diikat pada pohon kurma. Mereka mengganjar seratus cambukan
kepada murid setia para Imam ini.
Syaikh Mufid menuturkan, “Sahabat utama Imam ini
dipenjarakan selama tujuh puluh tahun. Seluruh harta bendanya dimusnahkan. Walaupun
didera dengan cobaan yang berat, ia tetap mengunci mulutnya dan tidak berkata
sepatah kata pun untuk memberikan informasi kepada penguasa Abasiyah yang
zalim.”
2. Ali bin Yaqthin
Ia juga adalah salah seorang sahabat Imam Ja’far as. Marwan
memata-matainya dan memerintahkan penangkapannya. Akan tetapi, Ali berhasil
meloloskan diri dari kejaran Marwan. Ia mengirim istri dan anak-anaknya ke
Madinah. Ia kembali ke Kufah menyusul keruntuhan Dinasti Bani Umaiyah di tangan
Bani Abbasiyah.
Ali menjalin hubungan yang dekat dengan orang-orang
Abbasiyah dan berhasil menjabat kedudukan-kedudukan penting dalam pemerintahan
mereka. Melalui kedudukannya ini, ia banyak membantu pengikut-pengikut
Ahlulbait yang tertindas.
Harun Ar-Rasyid mengangkat Ali sebagai menterinya.
Sebenarnya ia merupakan seorang utusan Imam Musa as yang menyusup ke dalam
pemerintahan Harun. Beberapa kali ia bermaksud mengundurkan diri, namun ia
ditahan oleh Imam untuk tetap menjabat kementerian demi melindungi ajaran dan
pengikut Ahlulbait as.
Ali bin Yaqthin wafat ketika Imam Musa as masih berada di
dalam penjara.
3. Mu’min Ath-Thaq
Ia adalah seorang sahabat Imam Ja’far Ash-Shadiq as dan Imam
Musa Al-Kazhim as. Imam Ja’far mendudukkannya sebagai salah seorang sahabat
utama beliau dan memberikan penghormatan khusus kepadanya.
Mu’min amat tangkas dalam diskusi dengan siapa saja.
Mengenai hal ini, Imam Ja’far as mengatakan, “Mu’min ibarat seekor elang yang
menerkam mangsanya.”
4. Hisyam bin Hakam
Ia adalah seorang pakar dalam bidang ilmu Logika. Acapkali
terdapat sebuah masalah pelik, Imam Ja’far as selalu mengutusnya memecahkan
masalah itu. Ia sangat menguasai pembahasan Imamah. Ia merupakan murid jenius
Imam dan tangkas dalam memberikan jawaban. Ia juga seorang pakar dalam
masalah-masalah Ketuhanan.
Hisyam banyak menulis kitab dan terlibat dalam
diskusi-diskusi dengan ulama dari berbagai mazhab dan golongan.[]
Mutiara Hadis Imam Musa Al-Kazhim
• “Katakan yang hak, walaupun akan mendatangkan kerugian
kepadamu.”
• “Jika engkau menjadi seorang pemimpin yang bertakwa, maka
seharusnya engkau bersyukur kepada Allah atas anugerah ini.”
• “Bersikaplah tegas dan keras terhadap orang-orang zalim
sehingga engkau dapat merebut hak orang-orang mazlum (yang teraniaya) darinya.”
• “Kebaikan yang utama adalah menolong orang-orang yang
tertindas.”
• “Dunia ini berkulit halus dan cantik, ibarat seekor ular.
Namun, ia menyimpan racun pembunuh di dalamnya.”
Riwayat Singkat Imam Musa Al-Kazhim
Nama :
Musa.
Gelar
: Al-Kazhim.
Panggilan : Abul Hasan.
Ayah
: Imam Ja’far as.
Ibu
: Hamidah.
Kelahiran : Abwa’, 7 Safar 120 H.
Masa Imamah : 35 Tahun.
Usia
: 54 Tahun.
Kesyahidan
:Tahun 182 H.
Makam : Kazhimain, Irak.
|
|
|
Komentar
Posting Komentar