Ada Apa Dengan Syi’ah Dan Sejarahnya ?
Bismillahirrahmanirrahim
Sebelum kita membahas mengenai sejarah kemunculan Syi’ah dan aneka ragam aliran yang ada di dalamnya, ada baiknya –secara global– kita mengetahui terlebih dahulu definisi agama, Islam dan Syi’ah. a.Agama Tidak diragukan lagi bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan untuk hidup bermasyarakat dengan sesama jenisnya. Di dalam hidup
Bismillahirrahmanirrahim
Sebelum kita membahas mengenai sejarah kemunculan Syi’ah dan aneka ragam aliran yang ada di dalamnya, ada baiknya –secara global– kita mengetahui terlebih dahulu definisi agama, Islam dan Syi’ah. a.Agama Tidak diragukan lagi bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan untuk hidup bermasyarakat dengan sesama jenisnya. Di dalam hidup
bermasyarakat
tersebut sangat sering terjadi aktifitas, seperti makan, minum, tidur,
berbicara, berkorelasi dan lain sebagainya yang secara lahiriah berbeda
dari satu individu ke individu yang lain. Akan tetapi, pada hakikatnya
semua aktifitas tersebut sangat berhubungan erat antara yang satu dengan
lainnya. Semua aktifitas tersebut memiliki aturan dan ketentuan
tertentu yang menyebabkan setiap aktifitas tidak layak dikerjakan
kecuali dalam ruang lingkup yang sesuai dengan eksistensinya. Apa yang
diinginkan oleh manusia dengan semua aktifitas itu? Jawabannya sangat
mudah dan jelas. Ia ingin memiliki sebuah kehidupan yang terhormat bagi
dirinya dan –sebisa mungkin– ia ingin menggapai semua tujuan hidup yang
telah dicanangkannya. Untuk merealisasikan hal itu, ia akan selalu
berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya demi menikmati hidup
yang lebih lama. Dari sinilah, supaya tidak terjadi gesekan-gesekan
dengan masyarakatnya yang dapat memngundang kebinasaannya, ia akan
selalu melaksanakan semua aktifitasnya sesuai dengan hukum dan
undang-undang yang telah disepakati oleh masyarakatnya, baik
undang-undang tersebut adalah buatan mereka sendiri atau hasil menyontek
dari orang lain. Pokoknya, ia akan memilih sebuah metode khusus yang
sesuai dengan keinginannya dalam menjalani kehidupan ini. Undang-undang
yang telah disepakati tersebut pasti dilandasi oleh satu keyakinan
mendasar yang dijadikannya sebagai pegangan utama dalam hidupnya. Itu
adalah pandangan dunianya. Orang yang meyakini bahwa dunia ini hanyalah
materi dan manusia adalah makhluk materi belaka yang dengan ditiupkannya
ruh ke dalam tubuhnya, ia akan hidup dan dengan dicabutnya kembali ruh
tersebut, ia akan binasa, segala usahanya akan difokuskan untuk memenuhi
kebutuhan materi ini belaka. Dan sebaliknya, orang yang meyakini bahwa
di samping kehidupan materi ini, manusia juga akan memiliki kehidupan
kekal di alam akhirat dan ia akan mendapat balasan yang setimpal di
sana, ia akan berusaha untuk memenuhi kehidupan materi ini dan
menyelamatkan diri dari azab Ilahi di alam sana. Dengan kata lain, ia
akan berusaha untuk memperoleh kebahagiaan di alam materi ini dan di
alam kiamat kelak. Gabungan antara pandangan dunia dan undang-undang
yang sesuai dengan pandangan dunia ini disebut agama. Dan jika agama itu
memiliki aliran-aliran cabang yang tentunya akan saling berbeda antara
satu dengan lainnya, aliran tersebut dinamakan mazhab. Seperti Syi’ah
dan Ahlussunnah dalam agama Islam dan Protestan dan Katolik dalam agama
Kristen. Dengan penjelasan global di atas dapat ditari sebuah kesimpulan
bahwa setiap manusia –meskipun ia tidak meyakini adanya Tuhan– pasti
memiliki sebuah “agama” yang akan dipraktekkan dalam kehidupannya
sehari-hari. Dan tentunya, orang yang memilih agama yang telah
ditentukan oleh Allah SWT sebagai pencipta alam semesta, niscaya ia akan
bahagia. Sementara orang yang memilih selain agama tersebut, akibatnya
akan fatal, baik di dunia ini maupun di alam akhirat kelak. b.Islam
Secara lenguistik, Islam adalah pasrah terhadap sesuatu. Arti
teminologisnya tidak jauh berbeda dengan arti lenguistiknya. Dan Al
Quran menamakan agama yang telah ditentukan oleh Allah dengan Islam,
karena pokok ajarannya adalah kepasrahan manusia kepada segala ketentuan
dan undang-undang yang telah ditentukan oleh-Nya. Konsekuensinya, ia
tidak akan menyembah selain Tuhan yang Esa. c. Syi’ah Secara lenguistik,
Syi’ah adalah pengikut. Seiring dengan bergulirnya masa, secara
terminologis Syi’ah ¬hanya dikhususkan untuk orang-orang yang meyakini
bahwa hanya Rasulullahlah SAWW yang berhak menentukan penerus risalah
Islam sepeninggalnya. Dan dalam semua hal, mereka hanya mengikuti ajaran
Ahlul Bayt a.s. Sejarah Munculnya Syi’ah a.Kapan Syi’ah Muncul? Syi’ah
sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib a.s. (imam pertama kaum Syi’ah)
sudah muncul sejak Rasulullah SAWW masih hidup. Hal ini dapat dibuktikan
dengan realita-realita berikut ini: Pertama, ketika Rasulullah SAWW
mendapat perintah dari Allah SWT untuk mengajak keluarga terdekatnya
masuk Islam, ia berkata kepada mereka: “Barang siapa di antara kalian
yang siap untuk mengikutiku, maka ia akan menjadi pengganti dan washiku
setelah aku meninggal dunia”. Tidak ada seorang pun di antara mereka
yang bersedia untuk mengikutinya kecuali Ali a.s. Sangat tidak masuk
akal jika seorang pemimpin pergerakan di hari pertama ia memulai
langkah-langkahnya memperkenalkan penggantinya setelah ia wafat kepada
orang lain dan tidak memperkenalkanya kepada para pengikutnya yang
setia. Atau ia mengangkat seseorang untuk menjadi penggantinya, akan
tetapi, di sepanjang masa aktifnya pergerakan tersebut ia tidak
memberikan tugas sedikit pun kepada penggantinya dan memperlakukannya
sebagaimana orang biasa. Keberatan-keberatan di atas adalah bukti kuat
bahwa Imam Ali a.s. setelah diperkenalkan sebagai pengganti dan washi
Rasulullah SAWW di hari pertama dakwah, memiliki misi yang tidak berbeda
dengan missi Rasulullah SAWW dan orang yang mengikutinya berarti ia
juga mengikuti Rasulullah SAWW. Kedua, berdasarkan riwayat-riwayat
mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syi’ah, Rasulullah SAWW
pernah bersabda bahwa Imam Ali a.s. terjaga dari setiap dosa dan
kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku. (Lihat QS Al-Ahzab : 33).
Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan ia adalah
orang yang paling tahu tentang Islam. Tentang ini Rasulullah bersabda
:’Aku ini adalah kotanya ilmu, sedangkan Ali adalah pintu gerbangnya.
Barangsiapa ingin memperoleh ilmu hendaknya ia mengambil lewat pintunya.
Ketiga, Imam Ali a.s. adalah sosok figur yang telah berhasil
menghidupkan Islam dengan pengorbanan-pengorbanan yang telah lakukannya.
Seperti, ia pernah tidur di atas ranjang Rasulullah SAWW di malam
peristiwa lailatul mabit ketika Rasulullah SAWW hendak berhijrah ke
Madinah dan kepahlawannya di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan
Khaibar. Seandainya pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah
dilakukannya, niscaya Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan.
Keempat, peristiwa Ghadir Khum adalah puncak keistimewaan yang dimiliki
oleh Imam Ali a.s. Sebuah peristiwa –yang seandainya dapat
direalisasikan sesuai dengan kehendak Rasulullah SAWW– akan memberikan
warna lain terhadap Islam. Warna lain yang dimaksud disini adalah tidak
terpecah belahnya umat Islam seperti yang terjadi sekarang ini. Bahkan,
para ahli sejarah sebagian besar mengatakan bahwa peristiwa pengangkatan
Imam Ali sebagai pewaris Rasul di Ghadir Khum ini disebutkan sebagai
kesempurnaan kenabian Rasulullah itu sendiri. Artinya, tanpa peristiwa
pengangkatan ini, risalah Rasulullah menjadi tidak sempurna. Semua
keistimewaan dan keistimewaan-keistimewaan lain yang diakui oleh
Ahlussunnah bahwa semua itu hanya dimiliki oleh Imam Ali a.s. secara
otomatis akan menjadikann sebagian pengikut Rasulullah SAWW yang memang
mencintai kesempurnaan dan hakikat beliau, pasti akan mencintai Imam Ali
a.s. Bahkan lebih dari itu, akan menjadi pengikut setianya. Dan tidak
menutup kemungkinan bagi sebagian lainnya akan membenci kepada “manusia
pilihan Allah” ini sebenci-bencinya. Meskipun mereka melihat dengan
jelas beliau amat berjasa dalam mengembangkan dan menjaga Islam dari
kesirnaan. b.Mengapa Minoritas Syi’ah berpisah dari mayoritas
Ahlussunnah? Dengan melihat keistimewaan dan kedudukan yang dimiliki
oleh Imam Ali a.s., para pengikutnya meyakini bahwa ia adalah
satu-satunya sahabat yang berhak untuk menggantikan kedudukan Rasulullah
SAWW. Keyakinan ini menjadi semakin mantap setelah peristiwa “kertas
dan pena” yang terjadi beberapa hari sebelum Rasulullah meninggal dunia.
Akan tetapi, kenyataan berbicara lain. Ketika Ahlul Bayt a.s. dan para
pengikutnya sedang sibuk mengurusi jenazah Rasulullah SAWW untuk
dikebumikan, sebagian mayoritas sahabat yang didalangi oleh sekelompok
sahabat yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi dengan Islam,
berkumpul di sebuah balai pertemuan yang bernama Saqifah Bani Sa’idah
guna menentukan khalifah pengganti Rasulullah SAWW. Dan dengan cara dan
metode keji, para “pecundang” ini berhasil menentukan Abu Bakar sebagai
khalifah pertama muslimin. Setelah para pengikut Imam Ali a.s. yang
hanya segelintir selesai mengebumikan jenazah Rasulullah SAWW, mereka
mendapat berita bahwa khalifah muslimin telah dipilih. Banyak pengikut
Imam Ali a.s. seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, Ammar Yasir dan
lain-lain yang protes atas pemilihan tersebut dan menganggapnya tidak
absah. Yang mereka dengar hanyalah alasan yang biasa dilontarkan oleh
orang yang ingin membela diri. Mereka hanya berkata: “Kemaslahatan
muslimin menuntut demikian. Kekosongan kepemimpinan tidak boleh
berlangsung lama. Oleh karena itu, pengganti Rasulullah harus segera
dilantik. Mengurusi pengganti Rasul, jauh lebih penting ketimbang
mengurusi jenazah Rasul”. Protes minoritas inilah yang menyebabkan
mereka memisahkan diri dari mayoritas masyarakat yang mendominasi arena
politik kala itu. Dengan demikian, terwujudlah dua golongan di dalam
tubuh masyarakat muslim yang baru ditinggal oleh Rasulullah, sang
pemimpin umat. Akan tetapi, pihak mayoritas yang tidak ingin realita itu
diketahui oleh para musuh luar Islam, mereka mengeksposkan sebuah
berita kepada masyarakat bahwa pihak minoritas itu adalah penentang
pemerintahan yang resmi. Akibatnya, mereka dianggap sebagai musuh Islam.
Meskipun adanya tekanan-tekanan dari kelompok mayoritas tersebut,
kelompok minoritas ini masih tetap teguh memegang keyakinannya bahwa
kepemimpinan adalah hak Imam Ali a.s. setelah Rasulullah SAWW meninggal
dunia. Bukan hanya itu, dalam menghadapi segala problema kehidupan,
mereka hanya merujuk kepada Imam Ali a.s. untuk memecahkan berbagai
problem kehidupan, mereka tidak mengadu kepada pemerintahan Abu Bakar,
melainkan kepada Imam Ali saja. Meskipun demikian, berkenaan dengan
problema-problema yang menyangkut kepentingan umum, mereka tetap
bersedia untuk ikut andil memecahkannya. Banyak problema telah terjadi
yang tidak dapat dipecahkan oleh para khalifah, dan hanya Imam Ali a.s.
saja yang dapat menjawab setiap problema yang dihadapi oleh masyarakat
saat itu. Nah, dari peristiwa inilah, eksistensi Syiah muncul.
Kemunculan ini bukan berarti bahwa Syiah lahir setelah Rasulullah wafat.
Syiah ada bersamaan dengan turunnya Al-Qur’an. Karena kata Syiah itu
memang ada di Al-Qur’an Sementara, kata Ahlussunnah tidak ada di dalam
Al-Qur’an. Jadi, tidaklah benar bahwa Syiah lahir karena Abdullah bin
Saba yang mendirikannya. Menurut Syiah, Abdullah bin Saba ini adalah
tokoh fiktif. c. Penyelewengan Dimasa Tiga Khalifah Pada masa
kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, banyak sekali terjadi
penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh mereka dalam menjalankan
pemerintahan yang tidak sesuai dengan rel Islam dan sunnah Rasulullah
SAWW. Diamnya pemerintah atas pembunuhan yang telah dilakukan oleh
Khalid bin Walid terhadap Malik bin Nuwairah yang berlanjut dengan
pemerkosaan terhadap istrinya, pembagian harta baitul mal yang tidak
merata sehingga menimbulkan perbedaan strata masyarakat kaya dan miskin.
Selanjutnya, mereka melakukan penghapusan dua jenis mut’ah: mut’ah haji
dan nikah yang sebelumnya pernah berlaku pada masa Rasulullah SAWW,
penghapusan khumus dari orang-orang yang berhak menerimanya, pelarangan
penulisan hadis-hadis Rasulullah SAWW, pelarangan mengucapkan hayya
‘alaa khairil ‘amal dalam azan, pemberian harta dan dukungan istimewa
kepada Mu’awiyah sehingga ia dapat berkuasa di Syam dengan leluasa, dan
lain sebagainya. Semua itu adalah bukti jelas penyelewengan dan
kepincangan yang terjadi pada masa tiga khalifah pertama. Semua itu
jelas terjadi sehingga orang yang berpikiran jernih dan tidak
dipengaruhi oleh fanatisme mazhab akan dapat menerimanya dengan menelaah
buku-buku sejarah yang otentik. Setelah Utsman bin Affan, Khalifah
ketiga muslimin dibunuh oleh para “pemberontak” yang tidak rela dengan
kinerjanya selama ia memegang tampuk khilafah, masyarakat dengan serta
merta memilih Imam Ali a.s. secara aklamasi untuk memegang tampuk
khilafah. Di antara Muhajirin yang pertama kali berbai’at dengannya
adalah Thalhah dan Zubair. Hal ini terjadi pada tahun 35 H. Sangat
disayangkan kekhilafahannya hanya berjalan sekitar 4 tahun 5 bulan, masa
yang sangat sedikit untuk mengadakan sebuah perombakan dan reformasi
mendasar. Begitu ia menjadi khalifah, khotbah pertama yang
dilontarkannya adalah sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa segala
kesulitan yang pernah kalian alami di masa-masa pertama Rasulullah SAWW
diutus menjadi nabi, sekarang akan kembali menimpa kalian. Oleh karena
itu, marilah kita membangun sebuah pemerintahan seperti yang Rasulullah
bangun. Jika kita tidak melakukannya, maka dikemudian hari umat akan
hancur berkeping-keping. Selama Imam Ali memerintah. Ia banyak melakukan
perombakan-perombakan secara besar-besaran, baik di bidang
birokrasi maupun bidang pembagian harta baitul mal. Ia mengganti semua
gubernur daerah yang telah ditunjuk oleh para khalifah sebelumnya dengan
orang-orang yang layak untuk memegang jabatan tersebut dan membagikan
harta baitul mal dengan sama rata di antara masyarakat. Hal ini
menyebabkan sebagian sahabat yang tergolong senior sakit hati. Diantara
sahabat senior itu adalah Thalhah dan Zubair. Faktor utama meletursnya
perang Jamal adalah rasa sakit hati Thalhah dan Zubair karena hak mereka
–sebagai sahabat senior– dari harta baitul mal merasa dikurangi dan
disamaratakan dengan masyarakat umum. Dengan alasan ingin menziarahi
Ka’bah, Thalhah dan Zubair masuk ke kota Makkah dan menemui A’isyah yang
memang selama ini memiliki hubungan tidak baik dengan Imam Ali a.s.
Keduanya berusaha mempengaruhi dan mengajaknya untuk memberontak kepada
pemerintahan Imam Ali. Slogan yang mereka gembar-gemborkan untuk menarik
perhatian opini umum adalah membalas dendam atas kematian Utsman.
Padahal, ketika Utsman dikepung oleh para “pemberontak” yang ingin
membunuhnya, mereka ada di Madinah dan tidak sedikit pun usaha yang
tampak dari mereka untuk membelanya. A’isyah sendiri adalah orang
pertama dan paling bersemangat mensupport masyarakat untuk membunuh
Utsman. Oleh karena itu, ketika ia mendengar Utsman telah terbunuh, ia
mencelanya dan merasa bahagia karena itu. Selain itu, faktor utama
perang Shiffin adalah rasa tamak Mu’awiyah atas khilafah, karena ia
telah disingkirkan oleh Imam Ali a.s. dari kursi kegubernuran Syam.
Perang ini berlangsung selama 1,5 tahun yang telah memakan banyak korban
yang tidak bersalah. Slogan Mu’awiyah di perang ini adalah membalas
dendam atas kematian Utsman juga. Padahal, selama Utsman dalam kepungan
para “pemberontak”, ia meminta bantuan dari Mua’wiyah yang bercokol di
Syam demi membasmi mereka. Dengan satu pleton pasukan lengkap, Mu’awiyah
berangkat dari Syam ke arah Madinah. Akan tetapi, di tengah perjalanan
mereka sengaja memperlambat jalannya pasukan sehingga Utsman terbunuh.
Setelah mendengar Utsman terbunuh, mereka kembali ke Syam dan kemudian
bergerak kembali menuju ke Madinah dengan slogan “membalas dendam atas
kematian Utsman”. Akhirnya pecahlah Shiffin. Anehnya, ketika Imam Ali
a.s. syahid dan Mu’awiyah berhasil memegang tampuk khilafah, mengapa ia
tidak mendengung-dengungkan kembali slogan “membalas dendam atas
kematian Utsman”? Setelah perang Shiffin berhasil dipadamkan, perang
Nahrawan berkecamuk. Faktornya adalah ketidakpuasan sebagian sahabat
yang disulut oleh Mu’awiyah atas pemerintahan Imam Ali a.s. dan atas
hasil perdamaian yang dipaksakan oleh mereka sendiri terhadap Imam Ali
a.s. yang menghasilkan pencabutannya dari kursi khilafah dan penetapan
Mu’awiyah sebagai khalifah muslimin. Tapi akhirnya, Imam Ali a.s. juga
berhasil memadamkan api perang tersebut. Tidak lama berselang dari
peristiwa Nahrawan, Imam Ali a.s. syahid dengan kepala yang mengucurkan
darah akibat tebasan pedang Abdurrahman bin Muljam di mihrab masjid
Kufah. d. Keberhasilan-keberhasilan Pemerintahan Imam Ali a.s. Meskipun
Imam Ali a.s. tidak berhasil memapankan kembali situasi masyarakat Islam
yang sudah bobrok itu secara sempurna, akan tetapi, dalam tiga segi ia
dapat dikatakan berhasil: Pertama, dengan kehidupan sederhana yang
dimilikinya, ia berhasil menunjukkan kepada masyarakat luas, khususnya
para generasi baru. Sehingga, Imam Ali berhasil mengkampanyekan hidup
sederhana yang juga merupakan gaya hidup dari Rasulullah Rasulullah SAWW
yang sangat menarik dan pantas untuk diteladani. Hal ini berlainan
sekali dengan kehidupan Mu’awiyah yang serba mewah, dan banyak
menghamburkan harta benda. Ali a.s. tidak pernah mendahulukan
kepentingan keluarganya atas kepentingan umum. Karena kesederhanaannya,
ia juga dikenal sebagai seorang zuhud sejati. Tentang ini beliau pernah
berkata :”Hai dunia! Anda, jangan coba-coba menggodaku. Anda, tidak bisa
menggodaku. Hai dunia, mulai saat ini kau ku talak tiga”. Dalam
memandang seorang manusia, ia tidak melihat kedudukan dan kekayaannya,
melainkan dari keimanannya kepada Allah. Kedua, dengan segala kesibukan
dan problema sosial yang dihadapinya, ia masih sempat meninggalkan
warisan segala jenis ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan
masyarakat dan dapat dijadikan sebagai penunjuk jalan untuk mencapai
tujuan hidup insani yang sebenarnya. Ia mewariskan sebelas ribu
ungkapan-ungkapan pendek dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
rasional, sosial dan keagamaan. Ia adalah pencetus tata bahasa Arab dan
orang pertama yang mengutarakan pembahasan-pembahasan filosofis yang
belum pernah dikenal oleh para filosof kaliber kala itu. Dan ia juga
orang pertama dalam Islam yang menggunakan argumentasi-argumentasi
rasional dalam menetapkan sebuah pembahasan filosofis. Ketiga, ia
berhasil mendidik para pakar agama Islam yang dijadikan sumber rujukan
dalam bidang ilmu ‘irfan oleh para ‘arif di masa sekarang, seperti Uwais
Al-Qarani, Kumail bin Ziyad, Maitsam At-Tammar dan Rusyaid Al-Ĥajari.
e.Masa Sulit bagi Kaum Syi’ah Setelah Imam Ali a.s. syahid di mihrab
shalatnya, masyarakat waktu itu membai’at Imam Hasan a.s. untuk memegang
tampuk khilafah. Setelah ia dibai’at, Mu’awiyah tidak tinggal diam. Ia
malah mengirim pasukan yang berjumlah cukup besar ke Irak sebagai pusat
pemerintahan Islam waktu itu untuk mengadakan peperangan dengan
pemerintahan yang sah. Dengan segala tipu muslihat dan iming-iming harta
yang melimpah, Mu’wiyah berhasil menipu para anggota pasukan Imam Hasan
a.s. dan dengan teganya mereka meninggalkannya sendirian. Melihat
kondisi yang tidak berpihak kepadanya dan dengan meneruskan perang Islam
akan hancur, dengan terpaksa ia harus mengadakan perdamaian dengan
Mu’awiyah. (Butir-butir perjanjian ini dapat dilihat di sejarah 14
ma’shum a.s.) Setelah Mu’awiyah berhasil merebut khilafah dari tangan
Imam Hasan a.s. pada tahun 40 H., –sebagaimana layaknya para pemeran
politik kotor– ia langsung menginjak-injak surat perdamaian yang telah
ditandatanganinya. Dalam sebuah kesempatan ia pernah berkata: “Aku tidak
berperang dengan kalian karena aku ingin menegakkan shalat dan puasa.
Sesungguhnya aku hanya ingin berkuasa atas kalian, dan aku sekarang
telah sampai kepada tujuanku”. Dengan demikian, Mu’awiyah ingin
menghidupkan kembali sistem kerajaan sebagai ganti dari sistem khilafah
sebagai penerus kenabian. Hal ini diperkuat dengan diangkatnya Yazid,
putranya sebagai putra mahkota dan penggantinya setelah ia mati.
Mua’wiyah tidak pernah memberikan kesempatan kepada para pengikut Syi’ah
untuk bernafas dengan tenang. Setiap ada orang yang diketahui sebagai
pengikut Syi’ah, ia akan langsung dibunuh di tempat. Bukan hanya itu,
setiap orang yang melantunkan syair yang berisi pujian terhadap keluarga
Ali a.s., ia akan dibunuh meskipun ia bukan pengikut Syi’ah. Tidak
cukup sampai di sini saja, ia juga memerintahkan kepada para khotib
shalat Jumat untuk melaknat dan mencerca Imam Ali a.s. Kebiasaan ini
berlangsung hingga masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz pada tahun
99-101 H. Masa pemerintahan Mu’awiyah (selama 20 tahun) adalah masa
tersulit bagi kaum Syi’ah di mana mereka tidak pernah memiliki sedikit
pun kesempatan untuk bernafas. Mayoritas pengikut Ahlussunnah
menakwilkan semua pembunuhan yang telah dilakukan oleh para sahabat,
khususnya Mu’awiyah itu dengan berasumsi bahwa mereka adalah sahabat
Nabi SAWW dan semua perilaku mereka adalah ijtihad yang dilandasi oleh
hadis-hadis yang telah mereka terima darinya. Oleh karena itu, semua
perilaku mereka adalah benar dan diridhai oleh Allah SWT. Seandainya pun
mereka salah dalam menentukan sikap dan perilaku, mereka akan tetap
mendapatkan pahala berdasarkan ijtihad yang telah mereka lakukan.
Sementara pandangan Syiah berbeda dengan ahlussunnah. Syi’ah tidak
menerima asumsi di atas dengan alasan sebagai berikut: Pertama, tidak
masuk akal jika seorang pemimpin yang ingin menegakkan kebenaran,
keadilan dan kebebasan dan mengajak orang-orang yang ada si sekitarnya
untuk merealisasikan hal itu. Setelah tujuan yang diinginkannya itu
terwujud, ia merusak sendiri cita-citanya dengan cara memberikan
kebebasan mutlak kepada para pengikutnya dengan segala cara. Setelah itu,
tindakaan-tindakan kriminal yang mereka lakukan dimaafkan. Kedua,
hadis-hadis yang “menyucikan” para sahabat dan membenarkan semua
perilaku non-manusiwi mereka berasal dari para sahabat sendiri. Dan
sejarah membuktikan bahwa mereka tidak pernah memperhatikan hadis-hadis
di atas. Mereka saling menuduh, membunuh, mencela dan melaknat. Dengan
bukti di atas, keabsahan hadis-hadis di atas perlu diragukan. Mu’awiyah
menemui ajalnya pada tahun 60 H. dan Yazid, putranya menduduki
kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam. Sejarah membuktikan bahwa
Yazid adalah sosok manusia yang tidak memiliki kepribadian luhur sedikit
pun. Kesenangannya adalah melampiaskan hawa nafsu dan segala
keinginannya. Dengan latar belakangnya yang demikian “guram dan gelap”,
tidaklah aneh jika di tahun pertama memerintah, ia tega membunuh Imam
Husein a.s., para keluarga dan sahabatnya dengan dalih karena mereka
enggan berbai’at dengannya. Setelah itu, ia menancapkan kepala para
syahid tersebut di ujung tombak dan mengelilingkannya di kota-kota
besar; Di tahun kedua memerintah, ia mengadakan pembunuhan besar-besaran
di kota Madinah dan menghalalkan darah, harta dan harga diri penduduk
Madinah selama tiga hari kepada para pasukannya; Di tahun ketiga
memerintah, ia membakar Ka’bah, kiblat muslimin. Setelah masa Yazid
dengan segala kebrutalannya berlalu, Bani Marwan yang masih memiliki
hubungan keluarga dengan Bani Umaiyah menggantikan kedudukannya. Mereka
pun tidak kalah kejam dan keji dari Yazid. Mereka berhasil berkuasa
selama 70 tahun dan jumlah khalifah dari dinasti mereka adalah sebelas
orang. Salah seorang dari mereka pernah ingin membuat sebuah kamar di
atas Ka’bah dengan tujuan untuk melampiaskan hawa nafsunya di dalamnya
ketika musim haji tiba. Dengan melihat kelaliman yang dilakukan oleh
para khalifah waktu itu, para pengikut Syi’ah makin kokoh dalam memegang
keyakinan mereka.
Di akhir-akhir masa kekuasaan Bani Umaiyah, mereka dapat menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa mereka masih memilliki eksistensi dan mampu untuk melawan para penguasa lalim. Di masa keimamahan Imam Muhammad Baqir a.s. dan belum 40 tahun berlalu dari terbunuhnya Imam Husein a.s., para pengikut Syi’ah yang berdomisili di berbagai negara dengan memanfaatkan kelemahan pemerintahan Bani Umaiyah karena tekanan-tekanan dari para pemberontak yang tidak puas dengan perilaku mereka, datang ke Madinah untuk belajar dari Imam Baqir a.s. Sebelum abad ke-1 H. usai, beberapa pembesar kabilah di Iran membangun kota Qom dan meresmikannya sebagai kota pemeluk Syi’ah. Beberapa kali para keturunan Imam Ali a.s. karena tekanan yang dilakukan oleh Bani Umaiyah atas mereka, mengadakan pemberontakan-pemberontakan melawan penguasa dan perlawanan mereka –meskipun mengalami kekalahan– sempat mengancam keamanan pemerintah. Realita ini menunjukkan bahwa eksistensi Syi’ah belum sirna. Dikarenakan kelaliman dinasti Bani Umaiyah yang sudah melampui batas, opini umum sangat membenci dan murka terhadap mereka. Setelah dinasti mereka runtuh dan penguasa terakhir mereka (Marwan ke-2 yang juga dikenal dengan sebutan Al-Himar, berkuasa dari tahun 127-132 H.) dibunuh, dua orang putranya melarikan diri bersama keluarganya. Mereka meminta suaka politik kepada berbagai negara, dan mereka enggan memberikan suaka politik kepada para pembunuh keluarga Rasulullah SAWW tersebut. Setelah mereka terlontang-lantung di gurun pasir yang panas, mayoritas mereka binasa karena kehausan dan kelaparan. Sebagian yang masih hidup pergi ke Yaman, dan kemudian dengan berpakaian compang-camping ala pengangkat barang di pasar-pasar mereka berhasil memasuki kota Makkah. Di Makkah pun mereka tidak berani menampakkan batang hidung, mungkin karena malu atau karena sebab yang lain. f. Syi’ah Pada Abad Ke-2 H. Di akhir-akhir sepertiga pertama abad ke-2 H., karena kelaliman dinasti Bani Umaiyah, muncul sebuah pemberontakan dari arah Khurasan, Iran dengan mengatasnamakan Ahlu Bayt a.s. Pemberontakan ini dipelopori oleh seorang militer berkebangsaan Iran yang bernama Abu Muslim Al-Marwazi. Dengan syiar ingin membalas dendam atas darah Ahlu Bayt a.s., ia memulai perlawanannya terhadap dinasti Bani Umaiyah. Banyak masyarakat yang tergiur dengan syiar tersebut sehingga mereka mendukung pemberontakannya. Akan tetapi, pemberontakan ini tidak mendapat dukungan dari Imam Shadiq a.s. Ketika Abu Muslim menawarkan kepadanya untuk dibai’at sebagai pemimpin umat, ia menolak seraya berkata: “Engkau bukanlah orangku dan sekarang bukan masaku untuk memberontak”. Setelah mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Umaiyah, di hari-hari pertama berkuasa mereka memperlakukan para keturunan Imam Ali a.s. dengan baik, dan demi membalas dendam atas darah mereka yang telah dikucurkan, mereka membunuh semua keturunan Bani Umaiyah. Bahkan, mereka menggali kuburan-kuburan para penguasa Bani Umaiyah untuk dibakar jenazah mereka. Tidak lama berlalu, mereka mulai mengadakan penekanan-penekanan serius terhadap para keturunan Imam Ali a.s. dan para pengikut mereka serta orang-orang yang simpatik kepada mereka. Abu Hanifah pernah dipenjara dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah dicambuk olehnya. Imam Shadiq a.s. setelah disiksa dengan keji, dibunuh dengan racun dan para keturunan Imam Ali a.s. dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Kesimpulannya, kondisi para pengikut Syi’ah pada masa berkuasanya dinasti Bani Abasiah tidak jauh berbeda dengan kondisi mereka pada masa dinasti Bani Umaiyah. g.Syi’ah Pada Abad Ke-3 H. Dengan masuknya abad ke-3 H., para pengikut Syi’ah Imamiah mendapatkan kesempatan baru untuk mengembangkan missi mereka. Mereka dapat menikmati sedikit keleluasaan untuk mengembangkan dakwah di berbagai penjuru. Faktornya adalah dua hal berikut: Pertama, banyaknya buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan masyarakat bersemangat untuk memperlajari ilmu-ilmu rasional dengan antusias. Di samping itu, peran Ma`mun Al-Abasi (195-218 H.) juga tidak patut dilupakan. Ia menganut mazhab Mu’tazilah yang sangat mendorong para pengikutnya untuk mengembangkan dan mempelajari argumentasi-argumentasi rasional. Oleh karena itu, ia memberikan kebebasan penuh kepada para pemikir dan teolog setiap agama untuk menyebarkan teologi dan keyakinan mereka masing-masing. Para pengikut Syi’ah tidak menyia-siakan kesempatan ini. Mereka mengembangkan jangkauan mazhab Syi’ah ke berbagai penjuru kota dan mengadakan dialog dengan para pemimpin agama lain demi mengenalkan keyakinan mazhab Syi’ah kepada khalayak ramai. Kedua, Ma`mun Al-Abasi mengangkat Imam Ali Ridha a.s. sebagai putra mahkota. Dengan ini, para keturunan Imam Ali a.s. dan sahabat mereka terjaga dari jamahan tangan para penguasa, dan menemukan ruang gerak yang relatif bebas. Akan tetapi, kondisi ini tidak berlangsung lama. Karena setelah semua itu berlalu, politik kotor dinasti Bani Abasiyah mulai merongrong para keturunan Imam Ali a.s. dan pengikut mereka kembali. Khususnya pada masa Mutawakil Al-Abasi (232-247 H.). Atas perintahnya, kuburan Imam Husein a.s. di Karbala` diratakan dengan tanah. h.Syi’ah Pada Abad ke-4 H. Pada abad ke-4 H., dengan melemahnya kekuatan dinasti Bani Abasiyah dan kuatnya pengaruh para raja dinasti Alu Buyeh yang menganut mazhab Syi’ah di Baghdad (pusat khilafah Bani Abasiyah kala itu), terwujudlah sebuah kesempatan emas bagi para penganut Syi’ah untuk mengembangkan mazhab mereka dengan leluasa. Dengan demikian, –menurut pendapat para sejarawan–mayoritas penduduk jazirah Arab, seperti Hajar, Oman, dan Sha’dah, kota Tharablus, Nablus, Thabariah, Halab dan Harat menganut mazhab Syi’ah kecuali mereka yang berdomisili di kota-kota besar. Antara kota Bashrah sebagai pusat mazhab Ahlussunnah dan kota Kufah sebagai pusat mazhab Syi’ah selalu terjadi gesekan-gesekan antar mazhab. Tidak sampai di situ, penduduk kota Ahvaz dan Teluk Persia di Iran juga memeluk mazhab Syi’ah. Di awal abad ini, seorang mubaligh yang bernama Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Hasan bin Ali bin Umar bin Ali bin Imam Husein a.s. yang dikenal dengan sebutan Nashir Uthrush (250-320 H.) melakukan aktifitas dakwahnya di Iran Utara dan berhasil menguasai Thabaristan. Lalu ia membentuk sebuah kerajaan di sana. Sebelumnya, Hasan bin Yazid Al-Alawi juga pernah berkuasa di daerah itu. Pada abad ini juga tepatnya tahun 296-527 H., dinasti Fathimiyah yang menganut mazhab Syi’ah Isma’iliyah berhasil menguasai Mesir dan mendirikan kerajaan besar di sana. Sangat sering terjadi gesekan-gesekan antar mazhab di kota-kota seperti Bahgdad, Bashrah dan Nisyabur antara mazhab Ahlusunnah dan Syi’ah, dan di mayoritas gesekan antar mazhab tersebut, Syi’ah berhasil menang dengan gemilang. i. Syi’ah Pada Abad ke-5 hingga Abad ke-9 H. Dari abad ke-5 hingga abad ke-9 H., sistematika perkembangan mazhab Syi’ah tidak jauh berbeda dengan sistematika perkembangannya pada abad ke-4. Perkembangannya selalu didukung oleh kekuatan pemerintah yang memang menganut mazhab Syi’ah. Di akhir abad ke-5 H., mazhab Syi’ah Isma’iliyah berkuasa di Iran selama kurang lebih satu setengah abad dan ia dapat menyebarkan ajaran-ajaran Syi’ah dengan leluasa. Dinasti Al-Mar’asyi bertahun-tahun berkuasa di Mazandaran, Iran. Setelah masa mereka berlalu, dinasti Syah Khudabandeh, silsilah kerajaan Mongol memeluk dan menyebarkan mazhab Syi’ah. Dan kemudian, raja-raja dari dinasti Aaq Quyunlu dan Qareh Quyunlu yang berkuasa di Tabriz dan kekuasaan mereka terbentang hingga ke daerah Kerman serta dinasti Fathimiyah di Mesir berhasil menyebarkan mazhab Syi’ah ke seluruh masyarakat ramai. Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Setelah dinasti Fathimiyah mengalami kehancuran dan dinati Alu Ayyub berkuasa, para pengikut Syi’ah mulai terikat kembali dan mereka tidak bebas menyebarkan mazhab mereka. Banyak para tokoh Syi’ah yang dipenggal kepalanya pada masa itu. Seperti Syahid Awal dan seorang faqih kenamaan Syi’ah, Muhammad bin Muhammad Al-Makki dipenggal kepalanya pada tahun 786 H. di Damaskus karena tuduhan menganut mazhab Syi’ah, dan Syeikh Isyraq, Syihabuddin Sahruwardi dipenggal kepalanya di Halab karena tuduhan mengajarkan filsafat. j. Syi’ah Pada Abad ke-10 hingga ke-11 H.
Pada tahun 906 H., Syah Isma’il Shafawi yang masih berusia 13 tahun, salah seorang keturunan Syeikh Shafi Al-Ardabili (seorang syeikh thariqah di mazhab Syi’ah dan meninggal pada tahun 153 H.), ingin mendirikan sebuah negara Syi’ah yang mandiri. Akhirnya, ia mengumpulkan para Darwisy pengikut kakeknya dan mengadakan pemberontakan dimulai dari daerah Ardabil dengan cara memberantas sistem kepemimpinan kabilah yang dominan kala itu dan membebaskan seluruh daerah Iran dari cengkraman dinasti Utsmaniyah dengan tujuan supaya Iran menjadi negara yang tunggal. Dan ia berhasil mewujudkan cita-citanya tersebut sehingga sebuah kerajaan Syi’ah Imamiah terbentuk dan berdaulat kala itu. Setelah ia meninggal dunia, kerajaannya diteruskan oleh putra-putranya. Mazhab Syi’ah kala itu memiliki legistimasi hukum yang sangat kuat sehingga semua organ pemerintah menganut mazhab Syi’ah. Pada masa kecemerlangan dinasti Shafawiyah di bawah pimpinan Syah Abbas yang Agung, kuantitas pengikut Syi’ah mencapai dua kali lipat penduduk Iran pada tahun 1384 H. k. Syiah Pada Abad ke-12 hingga ke-14 H. Di tiga abad terakhir ini, mazhab Syi’ah berkembang dengan sangat pesat, khususnya setelah ia menjadi mazhab resmi Iran setelah kemenangan Revolusi Islam. Begitu juga di Yaman dan Irak, mayoritas penduduknya memeluk mazhab Syi’ah. Dapat dikatakan bahwa di setiap negara yang penduduknya muslim, akan ditemukan para pemeluk Syi’ah. Di masa sekarang, diperkirakan bahwa pengikut Syi’ah di seluruh dunia berjumlah 300.000 .000 lebih.
Di akhir-akhir masa kekuasaan Bani Umaiyah, mereka dapat menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa mereka masih memilliki eksistensi dan mampu untuk melawan para penguasa lalim. Di masa keimamahan Imam Muhammad Baqir a.s. dan belum 40 tahun berlalu dari terbunuhnya Imam Husein a.s., para pengikut Syi’ah yang berdomisili di berbagai negara dengan memanfaatkan kelemahan pemerintahan Bani Umaiyah karena tekanan-tekanan dari para pemberontak yang tidak puas dengan perilaku mereka, datang ke Madinah untuk belajar dari Imam Baqir a.s. Sebelum abad ke-1 H. usai, beberapa pembesar kabilah di Iran membangun kota Qom dan meresmikannya sebagai kota pemeluk Syi’ah. Beberapa kali para keturunan Imam Ali a.s. karena tekanan yang dilakukan oleh Bani Umaiyah atas mereka, mengadakan pemberontakan-pemberontakan melawan penguasa dan perlawanan mereka –meskipun mengalami kekalahan– sempat mengancam keamanan pemerintah. Realita ini menunjukkan bahwa eksistensi Syi’ah belum sirna. Dikarenakan kelaliman dinasti Bani Umaiyah yang sudah melampui batas, opini umum sangat membenci dan murka terhadap mereka. Setelah dinasti mereka runtuh dan penguasa terakhir mereka (Marwan ke-2 yang juga dikenal dengan sebutan Al-Himar, berkuasa dari tahun 127-132 H.) dibunuh, dua orang putranya melarikan diri bersama keluarganya. Mereka meminta suaka politik kepada berbagai negara, dan mereka enggan memberikan suaka politik kepada para pembunuh keluarga Rasulullah SAWW tersebut. Setelah mereka terlontang-lantung di gurun pasir yang panas, mayoritas mereka binasa karena kehausan dan kelaparan. Sebagian yang masih hidup pergi ke Yaman, dan kemudian dengan berpakaian compang-camping ala pengangkat barang di pasar-pasar mereka berhasil memasuki kota Makkah. Di Makkah pun mereka tidak berani menampakkan batang hidung, mungkin karena malu atau karena sebab yang lain. f. Syi’ah Pada Abad Ke-2 H. Di akhir-akhir sepertiga pertama abad ke-2 H., karena kelaliman dinasti Bani Umaiyah, muncul sebuah pemberontakan dari arah Khurasan, Iran dengan mengatasnamakan Ahlu Bayt a.s. Pemberontakan ini dipelopori oleh seorang militer berkebangsaan Iran yang bernama Abu Muslim Al-Marwazi. Dengan syiar ingin membalas dendam atas darah Ahlu Bayt a.s., ia memulai perlawanannya terhadap dinasti Bani Umaiyah. Banyak masyarakat yang tergiur dengan syiar tersebut sehingga mereka mendukung pemberontakannya. Akan tetapi, pemberontakan ini tidak mendapat dukungan dari Imam Shadiq a.s. Ketika Abu Muslim menawarkan kepadanya untuk dibai’at sebagai pemimpin umat, ia menolak seraya berkata: “Engkau bukanlah orangku dan sekarang bukan masaku untuk memberontak”. Setelah mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Umaiyah, di hari-hari pertama berkuasa mereka memperlakukan para keturunan Imam Ali a.s. dengan baik, dan demi membalas dendam atas darah mereka yang telah dikucurkan, mereka membunuh semua keturunan Bani Umaiyah. Bahkan, mereka menggali kuburan-kuburan para penguasa Bani Umaiyah untuk dibakar jenazah mereka. Tidak lama berlalu, mereka mulai mengadakan penekanan-penekanan serius terhadap para keturunan Imam Ali a.s. dan para pengikut mereka serta orang-orang yang simpatik kepada mereka. Abu Hanifah pernah dipenjara dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah dicambuk olehnya. Imam Shadiq a.s. setelah disiksa dengan keji, dibunuh dengan racun dan para keturunan Imam Ali a.s. dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Kesimpulannya, kondisi para pengikut Syi’ah pada masa berkuasanya dinasti Bani Abasiah tidak jauh berbeda dengan kondisi mereka pada masa dinasti Bani Umaiyah. g.Syi’ah Pada Abad Ke-3 H. Dengan masuknya abad ke-3 H., para pengikut Syi’ah Imamiah mendapatkan kesempatan baru untuk mengembangkan missi mereka. Mereka dapat menikmati sedikit keleluasaan untuk mengembangkan dakwah di berbagai penjuru. Faktornya adalah dua hal berikut: Pertama, banyaknya buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan masyarakat bersemangat untuk memperlajari ilmu-ilmu rasional dengan antusias. Di samping itu, peran Ma`mun Al-Abasi (195-218 H.) juga tidak patut dilupakan. Ia menganut mazhab Mu’tazilah yang sangat mendorong para pengikutnya untuk mengembangkan dan mempelajari argumentasi-argumentasi rasional. Oleh karena itu, ia memberikan kebebasan penuh kepada para pemikir dan teolog setiap agama untuk menyebarkan teologi dan keyakinan mereka masing-masing. Para pengikut Syi’ah tidak menyia-siakan kesempatan ini. Mereka mengembangkan jangkauan mazhab Syi’ah ke berbagai penjuru kota dan mengadakan dialog dengan para pemimpin agama lain demi mengenalkan keyakinan mazhab Syi’ah kepada khalayak ramai. Kedua, Ma`mun Al-Abasi mengangkat Imam Ali Ridha a.s. sebagai putra mahkota. Dengan ini, para keturunan Imam Ali a.s. dan sahabat mereka terjaga dari jamahan tangan para penguasa, dan menemukan ruang gerak yang relatif bebas. Akan tetapi, kondisi ini tidak berlangsung lama. Karena setelah semua itu berlalu, politik kotor dinasti Bani Abasiyah mulai merongrong para keturunan Imam Ali a.s. dan pengikut mereka kembali. Khususnya pada masa Mutawakil Al-Abasi (232-247 H.). Atas perintahnya, kuburan Imam Husein a.s. di Karbala` diratakan dengan tanah. h.Syi’ah Pada Abad ke-4 H. Pada abad ke-4 H., dengan melemahnya kekuatan dinasti Bani Abasiyah dan kuatnya pengaruh para raja dinasti Alu Buyeh yang menganut mazhab Syi’ah di Baghdad (pusat khilafah Bani Abasiyah kala itu), terwujudlah sebuah kesempatan emas bagi para penganut Syi’ah untuk mengembangkan mazhab mereka dengan leluasa. Dengan demikian, –menurut pendapat para sejarawan–mayoritas penduduk jazirah Arab, seperti Hajar, Oman, dan Sha’dah, kota Tharablus, Nablus, Thabariah, Halab dan Harat menganut mazhab Syi’ah kecuali mereka yang berdomisili di kota-kota besar. Antara kota Bashrah sebagai pusat mazhab Ahlussunnah dan kota Kufah sebagai pusat mazhab Syi’ah selalu terjadi gesekan-gesekan antar mazhab. Tidak sampai di situ, penduduk kota Ahvaz dan Teluk Persia di Iran juga memeluk mazhab Syi’ah. Di awal abad ini, seorang mubaligh yang bernama Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Hasan bin Ali bin Umar bin Ali bin Imam Husein a.s. yang dikenal dengan sebutan Nashir Uthrush (250-320 H.) melakukan aktifitas dakwahnya di Iran Utara dan berhasil menguasai Thabaristan. Lalu ia membentuk sebuah kerajaan di sana. Sebelumnya, Hasan bin Yazid Al-Alawi juga pernah berkuasa di daerah itu. Pada abad ini juga tepatnya tahun 296-527 H., dinasti Fathimiyah yang menganut mazhab Syi’ah Isma’iliyah berhasil menguasai Mesir dan mendirikan kerajaan besar di sana. Sangat sering terjadi gesekan-gesekan antar mazhab di kota-kota seperti Bahgdad, Bashrah dan Nisyabur antara mazhab Ahlusunnah dan Syi’ah, dan di mayoritas gesekan antar mazhab tersebut, Syi’ah berhasil menang dengan gemilang. i. Syi’ah Pada Abad ke-5 hingga Abad ke-9 H. Dari abad ke-5 hingga abad ke-9 H., sistematika perkembangan mazhab Syi’ah tidak jauh berbeda dengan sistematika perkembangannya pada abad ke-4. Perkembangannya selalu didukung oleh kekuatan pemerintah yang memang menganut mazhab Syi’ah. Di akhir abad ke-5 H., mazhab Syi’ah Isma’iliyah berkuasa di Iran selama kurang lebih satu setengah abad dan ia dapat menyebarkan ajaran-ajaran Syi’ah dengan leluasa. Dinasti Al-Mar’asyi bertahun-tahun berkuasa di Mazandaran, Iran. Setelah masa mereka berlalu, dinasti Syah Khudabandeh, silsilah kerajaan Mongol memeluk dan menyebarkan mazhab Syi’ah. Dan kemudian, raja-raja dari dinasti Aaq Quyunlu dan Qareh Quyunlu yang berkuasa di Tabriz dan kekuasaan mereka terbentang hingga ke daerah Kerman serta dinasti Fathimiyah di Mesir berhasil menyebarkan mazhab Syi’ah ke seluruh masyarakat ramai. Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Setelah dinasti Fathimiyah mengalami kehancuran dan dinati Alu Ayyub berkuasa, para pengikut Syi’ah mulai terikat kembali dan mereka tidak bebas menyebarkan mazhab mereka. Banyak para tokoh Syi’ah yang dipenggal kepalanya pada masa itu. Seperti Syahid Awal dan seorang faqih kenamaan Syi’ah, Muhammad bin Muhammad Al-Makki dipenggal kepalanya pada tahun 786 H. di Damaskus karena tuduhan menganut mazhab Syi’ah, dan Syeikh Isyraq, Syihabuddin Sahruwardi dipenggal kepalanya di Halab karena tuduhan mengajarkan filsafat. j. Syi’ah Pada Abad ke-10 hingga ke-11 H.
Pada tahun 906 H., Syah Isma’il Shafawi yang masih berusia 13 tahun, salah seorang keturunan Syeikh Shafi Al-Ardabili (seorang syeikh thariqah di mazhab Syi’ah dan meninggal pada tahun 153 H.), ingin mendirikan sebuah negara Syi’ah yang mandiri. Akhirnya, ia mengumpulkan para Darwisy pengikut kakeknya dan mengadakan pemberontakan dimulai dari daerah Ardabil dengan cara memberantas sistem kepemimpinan kabilah yang dominan kala itu dan membebaskan seluruh daerah Iran dari cengkraman dinasti Utsmaniyah dengan tujuan supaya Iran menjadi negara yang tunggal. Dan ia berhasil mewujudkan cita-citanya tersebut sehingga sebuah kerajaan Syi’ah Imamiah terbentuk dan berdaulat kala itu. Setelah ia meninggal dunia, kerajaannya diteruskan oleh putra-putranya. Mazhab Syi’ah kala itu memiliki legistimasi hukum yang sangat kuat sehingga semua organ pemerintah menganut mazhab Syi’ah. Pada masa kecemerlangan dinasti Shafawiyah di bawah pimpinan Syah Abbas yang Agung, kuantitas pengikut Syi’ah mencapai dua kali lipat penduduk Iran pada tahun 1384 H. k. Syiah Pada Abad ke-12 hingga ke-14 H. Di tiga abad terakhir ini, mazhab Syi’ah berkembang dengan sangat pesat, khususnya setelah ia menjadi mazhab resmi Iran setelah kemenangan Revolusi Islam. Begitu juga di Yaman dan Irak, mayoritas penduduknya memeluk mazhab Syi’ah. Dapat dikatakan bahwa di setiap negara yang penduduknya muslim, akan ditemukan para pemeluk Syi’ah. Di masa sekarang, diperkirakan bahwa pengikut Syi’ah di seluruh dunia berjumlah 300.000 .000 lebih.
Komentar
Posting Komentar