Ketika Sufi Kenthir menyampaikan kepada para
sufi tulisan Thobary Syadzily di Facebook tentang Syekh Abdul Hadi asal
Jaha Cilegon Banten, keluarga Syekh Nawawi bin Umar Al-Bantany yang
dibantai kaum badui Salafi-Wahabi di Makkah saat memangku cucunya,
membuat Sufi Jadzab menangis tersedu-sedu. Lalu seperti tidak perduli
dengan orang-orang di sekitarnya, dengan suara lantang seperti orang
membaca puisi, Sufi Jadzab dengan terisak-isak berkata ,”Sewaktu
ramalan Rasulullah Saw tentang bakal munculnya kaum sesat dari sebelah
timur Madinah yang membahayakan umat Islam telah menampakkan tanda-tanda
yang nyata, darah pun tumpah ruah membanjiri padang-padang gersang di
atas gelak-tawa, raungan, jeritan, lenguhan, geraman kaum sesat
terkutuk yang merampok, menjarah, menganiaya, memperkosa, membunuh, dan
memangsa kaum muslimin dengan rasa bangga dan kepuasan maniac psikopat.
Waspadalah wahai orang-orang beriman! Waspadalah, karena kaum sesat
terkutuk yang diramalkan Nabi Saw itu sudah bergentayangan di sekitarmu
dengan mulut meneteskan liur darah, lidah bercabang yang terjulur dan
taring tajam yang berkilau karena haus darah kalian.”
Para sufi diam. Sebagian menarik nafas berat. Sebagian terperangah dengan mulut berdecak. Dullah yang duduk di samping Sufi tua, bertanya kepada Guru Sufi ingin tahu,”Mbah Kyai, apakah kaum Salafi-Wahabi sebuas dan seganas yang digambarkan Mbah Kasyful Majdzub?“
Setelah menarik nafas berat, Guru Sufi berkata menjelaskan,“Semenjak Wahabi-Sa’ud memproklamasikan jihad terhadap siapa pun yang berbeda pemahaman tauhid dengan mereka pada tahun 1746 Masehi, tindak kekerasan berupa penggerebegan, razia, penyiksaan, penjarahan, bahkan pembunuhan terhadap kaum muslimin yang mereka nilai telah musyrik dan kafir. Tahun 1761 Wahabi-Sa’ud telah menguasai sebagian besar Jazirah Arab, termasuk Najd, Arabiah tengah, ‘Asir, dan Yaman. Selama rentang masa itulah para sayyid, syarif, habib mengaku ahlul bait keturunan Sayidina Ali berduyun-duyun meninggalkan Jazirah Arab masuk ke Nusantara. Pendek kata, di bawah Malik Abdul Aziz ibnu Sa’ud, faham Wahabi-Sa’ud mengalami kejayaan sampai masa matinya Muhammad bin Abdul Wahab tahun 1791.”
“Bulan Dzulqa’dah tahun 1216 Hijriyyah atau 1802 Masehi, Sa’ud ibnu Sa’ud putera sulung Malik Abdul Aziz membawa 12.000 orang pasukan menyerang Karbala. Dengan ganas mereka merusak dan menjarah makam Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, membantai siapa pun penduduk yang berada di sekitar makam dan membasmi siapa pun yang berusaha menghalangi. Sekitar 5000 orang penduduk Karbala tewas dibantai. Hartanya dijarah sebagai pampasan. Sewaktu kabar ini sampai ke negeri-negeri muslim lain, Khalifah Turki, Mahmud II, dikecam banyak pihak karena gagal menjaga makam Imam Husein dari keganasan kaum Wahabi. Jadi yang diucapkan Mbah Kasyful Majdzub tidak asal mengigau, tapi ada fakta sejarahnya.”
“Maaf Mbah Kyai, adakah buku rujukan yang bisa dipakai sebagai dasar pijakan tentang peristiwa kebiadaban Wahabi-Sa’ud itu?” tanya Dullah ingin penjelasan.
“Cari dan baca tulisan Charles Allen yang berjudul God’s Terrorist, The Wahhabi Cult and the Hidden Roots of Modern Jihad (2006),” kata Guru Sufi menjelaskan,”Semua memuat data sejarah dari tindak kebiadaban kaum badui biadab itu.”
“Tapi Mbah Kyai,” sahut Dullah berkilah,”Mana mau Salafi-Wahabi mengakui fakta sejarah yang ditulis orang kafir seperti Charles Allen? Mereka pasti akan menolak kenyataan historis yang dipaparkan Charles Allen itu sebagai fitnah, sebagaimana kita faham watak mereka.”
“Lho itu sejarah faktual bukan soal ditulis oleh siapa,” kata Guru Sufi menjelaskan lebih rinci,”Soalnya, sejarawan Wahabi sendiri, yaitu Utsman ibnu Abdullah ibnu Bisyr an-Najdi dalam tulisan berjudul Unwan al-Majd fi Tarikh Najd, menggambarkan tragedi pembantaian Karbala itu seperti ini,“Pasukan yang dipimpin Sa’ud yang menunggangi kuda-kuda pilihan yang terbaik, yang terdiri dari orang-orang badui Najd, orang-orang selatan, Hijaz, Tihamah dan lainnya, bergerak menuju Karbala,…maka orang-orang Islam memenuhi kota itu, mengepung dinding-dindingnya, dan masuk ke daerah tersebut dengan paksa. Mereka membunuhi hampir seluruh penduduknya di pasar-pasar dan di rumah-rumah. Mereka menghancurkan kubah yang ada di atas makam al-Husein, kubah yang dihiasi dengan zamrud, yakut, dan beragam permata indah lainnya. Mereka merampas semua yang ada di negeri itu seperti uang, senjata, pakaian, kuda, emas, perak, mushaf-mushaf mahal, dan sebagainya. Mereka melakukan penyerbuan itu dengan cepat, sehingga mendekati dhuhur, mereka telah keluar dengan membawa semua harta itu, dan telah membunuhi penduduk sekitar 2000 orang.”
“Weleh weleh, jadi orang Wahabi-Salafi sendiri mengakui fakta tentang pembantaian itu, ya Mbah Kyai, tetapi jumlah korbannya mereka kurangi sehingga hanya 2000 orang, begitukah?” tanya Dullah menyimpulkan.
“Ya watak mereka memang begitu, biasa memutar-balik, memanipulasi, menghapus, menambahi, dan menginterpolasi data dan fakta.”
“Kenapa Wahabi-Sa’ud begitu antipati dengan orang Syi’ah, dan menganggap halal darah orang Syi’ah, Mbah Kyai?” tanya Sukiran tiba-tiba menyela.
“Karena Muhammad ibnu Abdul Wahab menganggap Syi’ah musyrik dan kafir karena menyembah makam imam mereka dan menjadikan Ali ibnu Abi Thalib sebagai wasilah,” kata Guru Sufi memaparkan.
“Woo begitu ya, Mbah Kyai,” sahut Sukiran mengangguk-angguk heran.
“Ya Muhammad ibnu Abdul Wahab dalam Ad-Durar as-Saniyyah,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Telah tegas-tegas menyatakan halalnya darah orang musyrik. Bahkan orang Islam yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, yaitu Khilafah Turki Utsmani, para penyembah kuburan, penyembah orang-orang saleh, pengganti sunnah dengan bid’ah, maka akan menjadi kafir juga. Ibnu Abdul Wahab dalam Nawaqidh al-Islam menyatakan bahwa barang siapa tidak mengkafirkan orang-orang musyrik atau ragu dalam mengkafirkan mereka, atau membenarkan mazhab mereka, maka dia kafir. Ibnu Taimiyyah juga telah berkata, bahwa siapa saja yang memanggil-manggil Ali ibnu Abi Thalib, maka dia benar-benar kafir, dan siapa saja yang ragu untuk mengkafirkannya maka dia juga telah kafir. Jadi orang-orang Syi’ah di Karbala yang dianggap menyembah kubur Imam Husein dijagal habis-habisan karena dianggap telah musyrik.”
“Bahkan dalam Ad-Durar as-Saniyyah, ibnu Abdul Wahab tegas-tegas menyatakan: sesungguhnya aku mengajak kalian kepada tauhid dan meninggalkan syirik kepada Allah. Semua yang ada di bawah tujuh lapis langit ini telah benar-benar musyrik, dan barangsiapa yang membunuh orang musyrik maka dia mendapat durga. Siapa saja yang masuk ke dalam dakwah kami, maka dia memiliki hak dan kewajiban sama dengan kami, dan siapa saja yang tidak masuk bersama kami, maka dia kafir, halal nyawa dan hartanya.”
“Itu pas sekali dengan faham jiwa dan semangat orang-orang badui gurun yang suka menggarong dan menyamun penduduk yang lewat wilayah mereka. Bedanya, Salafi-Wahabi ini merompak dan menyamun serta membunuh dengan mengatas-namakan agama,” kata Dullah berkomentar.
“Karena itu, “ sahut Sufi tua yang sejak tadi diam,”Orang-orang yang menganut faham Salafi-Wahabi, jiwa dan pikiran serta nalurinya tidak akan jauh dari badui gurun.”
“Tapi maaf Mbah Kyai,”sahut Dullah menyela,”Benarkah Nabi Saw pernah meramalkan bakal munculnya kaum sesat dari wilayah Nejd – daerah kelahiran kaum badui – yang terletak di timur kota Madinah seperti dikatakan Mbah Kasyful Majdzub?”
“Jangan terlalu serius bicara soal Salafi-Wahabi, santai saja,” kata Guru Sufi meminta kopi dan makanan ringan dikeluarkan,”Kita minum kopi sambil makan singkong bakar. Nanti soal Salafi-Wahabi, bisa disambung setiap waktu,” kata Guru Sufi meminta Sufi Sudrun untuk mengeluarkan kitab-kitab tentang Wahabi-Salafi dari perpustakaan.
Tak Perduli Bayi, Penduduk Thaif Dijagal Tanpa Ampun
Ketika sedang menikmati kopi dan singkong bakar tiba-tiba Johnson, keponakan Sufi tua datang menyampaikan titipan buku dari penerbit LKiS Jogja kepada Sufi Sudrun. Buku yang ditulis Syaikh Idahram itu ternyata mengupas sejarah berdarah Salafi Wahabi dalam membantai umat Islam. Tentu saja, diskusi jadi makin hangat.
Ketika perbincangan dimulai lagi, Sufi Kenthir yang ditugasi membaca tulisan Muhammad Muhsin al-Amin yang berjudul Kasyf al-Irtiyah mengungkapkan bagaimana setelah melakukan pembantaian di Karbala atas orang-orang Syi’ah, para badui Salafi-Wahabi bergerak dari gurun Najd menuju ke Thaif pada bulan Dzulqa’dah tahun 1217 Hijriyah atau 1803 Masehi. Saat itu Thaif di bawah kekuasaan gubernur Makkah as-Syarif Ghalib, yang sudah menjalin kesepakatan dengan pemuka Salafi-Wahabi. Namun seperti biasa, Salafi Wahabi ingkar. Begitu masuk Thaif, mereka menggiring para ulama untuk menyatakan sumpah setia mengikuti akidah Salafi Wahabi. Ulama yang menolak, pasti terhapus dari daftar hidup manusia.
“Selama menduduki kota Thaif,” kata Sufi Kenthir mengutip tulisan Muhammad Muhsin al-Amin,”Salafi Wahabi membunuh ribuan penduduk, termasuk wanita dan anak-anak. Bahkan yang paling biadab, badui-badui berakhlak bejat itu menyembelih bayi-bayi yang masih di pangkuan ibunya dan membunuhi wanita-wanita hamil. Setelah merampas, merusak, menjagal orang-orang tak bersalah, dan melakukan kebiadaban tak terbayangkan atas umat islam, binatang-binatang rendah penghuni gurun Najd itu bergerak menuju Makkah. Namun mereka berbalik ke Thaif, karena mengetahui saat itu umat Islam sedang menunaikan ibadah haji. Setelah para jama’ah haji kembali ke negeri masing-masing, barulah badui-badui Salafi Wahabi bergerak menuju Makkah.”
“Gubernur Makkah as-Syarif Ghalib tidak kuasa menahan kemarahan badui-badui Salafi Wahabi yang telah sampai di Jeddah. Pada akhir bulan Muharram 1218 Hijriyah, badui-badui biadab itupun masuk Makkah dan menetap di situ selama 14 hari. Selama waktu itu melakukan perusakan dan melakukan pelarangan menziarahi makan nabi-nabi dan makam orang-orang saleh.”
“Coba baca tulisan Mufti Makkah Sayyid Ahmad ibnu Zaini Dahlan!” kata Guru Sufi menunjuk Sufi Majnun untuk membaca kitab berjudul Umara ul-Baladil Haram.
Sufi Majnun dengan menahan perasaan membaca tulisan Sayyid Ahmad ibnu Zaini Dahlan itu dengan suara sesekali tersekat, yang intinya sebagai berikut:
“Ketika memasuki Thaif, Salafi Wahabi melakukan pembunuhan menyeluruh, termasuk orang tua, kanak-kanak, tokoh masyarakaty dan pemimpinnya, membunuhi golongan syarif dan rakyat biasa. Mereka menyembelih hidup-hidup bayi-bayi yang masih menyusu di pangkuan ibunya, membunuh umat Islam di dalam rumah-rumah dan kedai-kedai. Jika mereka mendapati satu jamaah umat Islam mengadakan kajian al-Qur’an, mereka cepat-cepat membunuhnya sehingga tidak tersisa lagi orang-orang dari kalangan mereka. Sewaktu memasuki masjid, mereka membunuhi orang-orang yang sedang rukuk dan sujud, merampas uang dan harta mereka. Mereka menginjak-injak al-Qur’an, kitab-kitab Imam Bukhari, Muslim, kitab fiqih, nahwu, dan kitab-kitab lain yang mereka robek-robek dan mereka tebarkan di jalan-jalan. Mereka merampas harta umat Islam, lalu membagi-bagikan di antara mereka seperti pembagian ghanimah dari harta orang kafir.”
Sufi Sudrun membaca tulisan Syaikh Idahram yang mengutip tulisan Dr Muhammad ‘Awadh al-Khatib dalam buku berjudul Shafahat min Tarikh al-Jazirah al-Arabiyah al-Hadits tentang bagaimana badui-badui Salafi Wahabi membunuh mereka yang menolak ajakan dakwahnya. Salafi Wahabi juga mengumpulkan mereka yang berusaha lari ke satu tempat untuk dipenggal, dan sebagian lagi digiring ke lembah Wadi Aluj, yang jauh dari hunian dalam keadaan telanjang antara laki-laki dan wanita. Mereka menggeledah dan menjarah harta benda penduduk. Setelah merampas harta penduduk dan membunuh mereka, badui-badui Salafi Wahabi meninggalkan Thaif, membagi rata hasil rampasan dan kemudian mengirimkan seperlima bagian kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
“Catatan sejarah tentang kebiadaban Salafi Wahabi itu,” lanjut Sufi Sudrun dengan suara ditekan tinggi,”Ternyata dibenarkan oleh sejarawan Wahabi, Syaikh Abdurrahman al-Jibrati dalam buku berjudul Tarikh ‘Ajaib al-Atsar fi at-Tarajum wa al-Akhbar. Dalam buku itu Syaikh Abdurrahman al-Jibrati menyatakan bahwa orang-orang Wahabi menyerang Thaif dan memerangi penduduknya selama tiga hari, sampai semua takluk. Orang-orang Wahabi mengambil alih kota itu dan memerintahnya dengan keras. Mereka membunuhi kaum lelakinya, menyandera perempuan dan anak-anaknya. Begitulah pandangan Wahabi terhadap orang-orang yang mereka perangi.”
“Biadab! Bejat! Binatang!” seru Dullah dengan dada naik turun menahan perasaan,” Bagaimana kawanan hewan buas yang tidak memiliki hati nurani itu bisa menepuk dada sambil menyatakan bahwa merekalah yang paling benar dan haqq dalam menjalankan agama. Jelas itu bukan kelakuan orang Islam. Rasulullah Saw tidak pernah mencontohkan kebiadaban seperti itu.”
“Benar kang,” sahut Sukiran dengan mata berkilat-kilat menimpali,”Mereka itu mesti penganut ajaran Musailamah al-Kadzab yang membalas dendam kepada umat Islam. Sungguh berbahaya agama baru dari Najd yang sesungguhnya adalah agama lama bikinan Musailamah.”
“Perhatian! Perhatian!” seru Sufi tua mengangkat tangan kanan ke atas,”Dilarang emosi dan marah-marah. Kepala boleh panas, hati harus tetap dingin. Mohon sabar, kita masih akan membahas kebiadaban badui-badui biadab itu pada perbincangan lanjutan.”
“Kebiadaban di mana lagi, pakde?” seru Dullah ingin tahu.
“Di mana lagi kalau bukan di Makkah dan Madinah?” sahut Sufi tua.
“Apa?” sergah Dullah dan Sukiran bersamaan,”Wahabi melakukan kebiadaban di Haramain?”
Jama’ah Haji Dibantai, Laki-laki Dibunuh, Anak-anak Disandera
Kebiadaban kawanan badui Salafi Wahabi di Thaif membuat Dullah dan Sukiran geleng-geleng kepala dan saling pandang satu sama lain. Johson yang duduk di samping Sufi tua garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Suasana hening. Tapi sejenak kemudian, Dullah bertanya,”Benarkah seperti yang dikatakan pakde, orang-orang badui biadab itu melakukan kebiadaban di Haramain?”
“Itu benar Dul,” sahut Sufi Kenthir,”Menurut sejarawan Abdullah ibnu Asy-Syarif Husain dalam kitab Sidqu al-Akhbari fi Khawariji al-Qarni ats-Tsani ‘Asyar, setelah menebar kebinasaan di Thaif pada bulan Dzulqa’dah kawanan badui Wahabi asal Nejd itu memasuki Makkah al-Mukarramah pada bulan Dzulhijjah tahun 1218 Hijriyah (1803 Masehi).”
“Apakah mereka melakukan kebiadaban di bulan suci itu?” tanya Dullah penasaran.
“Menurut tulisan Abdullah ibnu asy-Syarif Husain, badui-badui tak beradab itu membunuh ribuan umat Islam yang sedang menunaikan ibadah haji,” sahut Sufi Kenthir.
“Astaghfirullah!” sahut Dullah dan Sukiran dan Johnson bersamaan.
“Itu bukan fitnah,” sahut Sufi Kenthir,”Sebab sejarawan Wahabi sendiri, Utsman ibnu Abdullah ibnu Bisyr al-Hanbali an-Najdi dalam kitab ‘Unwan al-Majd fi Tarikh Najd memaparkan bagaimana pembantaian terhadap jama’ah haji itu dilakukan Wahabi. Hanya dia mencatat peristiwa itu terjadi pada bulan Muharram tahun 1220 Hijriyah (1805 Masehi). Kitab Tarikh al-Aqthar al-Arabiyah al-Hadits menuturkan bahwa yang dibantai Wahabi bukan hanya jama’ah haji, tapi penduduk Makkah al-Mukarramah juga. Bahkan banyak yang sekedar disiksa dan kemudian dipotong tangan dan kakinya karena menolak dakwah Wahabi. Para ibu warga Makkah al-Mukarramah dipaksa menjual hartanya untuk menebus bayi dan anak-anaknya yang masih kecil yang dijadikan sandera Wahabi. Dan seperti yang dilakukan di Thaif, kawanan badui Wahabi itu menjarah dan merampas semua harta dan makanan milik warga Makkah al-Mukarramah. Akibatnya, terjadi kelaparan. Anak-anak dan orang-orang tua mati kelaparan, mayatnya bergelimpangan di mana-mana. Badui Wahabi ketawa-ketiwi mengusung harta benda penduduk yang mereka anggap sebagai ghanimah.”
“Sejarawan Wahabi Utsman ibnu Abdullah ibnu Bisyr al-Hanbali an-Najdi dalam kitab ‘Unwan al-Majd fi Tarikh Najd menyatakan bahwa di tengah suasana Makkah al-Mukarramah krisis pangan, orang-orang Wahabi menjual daging keledai, daging anjing dan bangkai hewan kepada penduduk dengan harga tinggi. Banyak di antara mereka yang diam-diam meninggalkan kota Makkah karena takut. Saat itu bangkai manusia yang membusuk berserakan di mana-mana.”
“Teror badui-badui biadab atas Makkah al-Mukarramah berlangsung selama enam tahun setengah. Selama rentang waktu horor itu, badui-badui Wahabi melakukan pembunuhan-pembunuhan dan pemaksaan-pemaksaan kepada sisa-sisa penduduk agar menganut ajaran Wahabi. Pekuburan dan tempat-tempat bersejarah dihancurkan. Buku-buku selain Qur’an dan hadits, dibakar. Perayaan Maulid Nabi dilarang keras. Membaca Khasidah Barzanji dilarang. Pembacaan mau’idzah hasanah sebelum khotbah Jum’at dilarang. Demikian catatan sejarah yang ditulis Yusuf al-Hijiri dalam al-Baqi: Qishah Tadmir al-Sa’ud li al-Atsar al-Islamiyah fi Hijaj.”
“Maaf kang,” sahut Johnson menyela,”Saya kok seperti mendengar kisah penaklukan Jenghiz Khan yang ditandai pembantaian-pembantaian biadab di luar kemanusiaan. Apa ciri badui itu memang seperti itu? Soalnya, Jenghiz Khan itu kepala suku badui di padang rumput dan gurun Mongolia yang tidak cukup mengenal peradaban.”
“Ada kesamaan dan ada perbedaan,” sahut Sufi Kenthir,”Persamaannya, kawanan Wahabi di bawah Ibnu Sa’ud dan pasukan Mongol di bawah Jenghiz Khan adalah sama-sama badui tak beradab. Bedanya, badui Wahabi mengibarkan bendera Islam dan menganggap tindakannya sebagai amalan suci membersihkan agama Allah dari bid’ah dan khurafat. Jadi di mana pun mereka berada, mereka selalu berteriak “Ana Khoiru minhu” – “Aku lebih baik dari dia” sambil menebar kebinasaan pada orang-orang yang dianggap kafir dan musyrik.”
“Charles Allen dalam God’s Terrorist, The Wahhabi Cult and The Hidden Roots of Modern Jihad menuturkan bagaimana pada tahun 1803-1804 Masehi golongan Wahabi menyerbu Makkah dan Madinah, membunuhi para syaikh dan penduduk yang tidak bersedia mengikuti ajaran Wahabi. Perhiasan dan perabot indah yang mahal yang disumbangkan oleh para raja dan pangeran dari seluruh dunia untuk memperindah Masjidil Haram, makam Nabi Muhammad Saw, makam para wali dan makam orang-orang saleh di Makkah dan Madinah, dijarah dan dibagi-bagikan di antara kawaban Wahabi dan tokoh-tokohnya. Dunia Islam guncang ketika terdengar makam Nabi Saw dinodai dan dijarah, rute jama’ah haji ditutup, segala bentuk peribadatan yang tidak sesuai Wahabi dilarang.”
“Kebenaran tulisan Charles Allen itu bisa dirujuk pada fakta sejarah yang ditulis sejarawan Wahabi Utsman ibnu Abdullah ibnu Bisyr al-Hanbali an-Najdi dalam kitab ‘Unwan al-Majd fi Tarikh Najd dan tulisan sejarawan Ja’far ibnu Sayyid Ismail al-Madani al-Barzanji dalam Nuzhatu an-Nazhirin fi Tarikhi Masjidi al-Awwalin wal Akhirin yang menggambarkan bagaimana setelah menguasai Makkah al-Mukarramah, orang-orang Wahabi pada bulan Dzulqa’dah 1220 Hijriyah (1805 Masehi) menguasai Madinah. Mereka menggeledah Masjid Nabawi dan kediaman Nabi Saw. Harta benda sumbangan para raja dijarah. Kekejaman yang ditunjukkan di Karbala, Thaif dan Makkah al-Mukarramah dipamerkan lagi di Madinah, sehingga banyak penduduk melarikan diri termasuk Syaikh Ismail al-Barzanji dan Syaikh Dandrawi. Seperti kubah pekuburan Baqi’, kubah Ahlul Bait serta pekuburan kaum muslimin dihancurkan. Lampu-lampu yang menghiasi kota Madinah diambil, sebagian dihancurkan dan yang lain dibagi-bagikan kepada pengikut Wahabi. Madinah kemudian ditinggalkan dalam keadaan sunyi dan sepi, selama beberapa hari tanpa adzan, tanpa iqamah dan tanpa shalat.”
Para sufi diam. Sebagian menarik nafas berat. Sebagian terperangah dengan mulut berdecak. Dullah yang duduk di samping Sufi tua, bertanya kepada Guru Sufi ingin tahu,”Mbah Kyai, apakah kaum Salafi-Wahabi sebuas dan seganas yang digambarkan Mbah Kasyful Majdzub?“
Setelah menarik nafas berat, Guru Sufi berkata menjelaskan,“Semenjak Wahabi-Sa’ud memproklamasikan jihad terhadap siapa pun yang berbeda pemahaman tauhid dengan mereka pada tahun 1746 Masehi, tindak kekerasan berupa penggerebegan, razia, penyiksaan, penjarahan, bahkan pembunuhan terhadap kaum muslimin yang mereka nilai telah musyrik dan kafir. Tahun 1761 Wahabi-Sa’ud telah menguasai sebagian besar Jazirah Arab, termasuk Najd, Arabiah tengah, ‘Asir, dan Yaman. Selama rentang masa itulah para sayyid, syarif, habib mengaku ahlul bait keturunan Sayidina Ali berduyun-duyun meninggalkan Jazirah Arab masuk ke Nusantara. Pendek kata, di bawah Malik Abdul Aziz ibnu Sa’ud, faham Wahabi-Sa’ud mengalami kejayaan sampai masa matinya Muhammad bin Abdul Wahab tahun 1791.”
“Bulan Dzulqa’dah tahun 1216 Hijriyyah atau 1802 Masehi, Sa’ud ibnu Sa’ud putera sulung Malik Abdul Aziz membawa 12.000 orang pasukan menyerang Karbala. Dengan ganas mereka merusak dan menjarah makam Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, membantai siapa pun penduduk yang berada di sekitar makam dan membasmi siapa pun yang berusaha menghalangi. Sekitar 5000 orang penduduk Karbala tewas dibantai. Hartanya dijarah sebagai pampasan. Sewaktu kabar ini sampai ke negeri-negeri muslim lain, Khalifah Turki, Mahmud II, dikecam banyak pihak karena gagal menjaga makam Imam Husein dari keganasan kaum Wahabi. Jadi yang diucapkan Mbah Kasyful Majdzub tidak asal mengigau, tapi ada fakta sejarahnya.”
“Maaf Mbah Kyai, adakah buku rujukan yang bisa dipakai sebagai dasar pijakan tentang peristiwa kebiadaban Wahabi-Sa’ud itu?” tanya Dullah ingin penjelasan.
“Cari dan baca tulisan Charles Allen yang berjudul God’s Terrorist, The Wahhabi Cult and the Hidden Roots of Modern Jihad (2006),” kata Guru Sufi menjelaskan,”Semua memuat data sejarah dari tindak kebiadaban kaum badui biadab itu.”
“Tapi Mbah Kyai,” sahut Dullah berkilah,”Mana mau Salafi-Wahabi mengakui fakta sejarah yang ditulis orang kafir seperti Charles Allen? Mereka pasti akan menolak kenyataan historis yang dipaparkan Charles Allen itu sebagai fitnah, sebagaimana kita faham watak mereka.”
“Lho itu sejarah faktual bukan soal ditulis oleh siapa,” kata Guru Sufi menjelaskan lebih rinci,”Soalnya, sejarawan Wahabi sendiri, yaitu Utsman ibnu Abdullah ibnu Bisyr an-Najdi dalam tulisan berjudul Unwan al-Majd fi Tarikh Najd, menggambarkan tragedi pembantaian Karbala itu seperti ini,“Pasukan yang dipimpin Sa’ud yang menunggangi kuda-kuda pilihan yang terbaik, yang terdiri dari orang-orang badui Najd, orang-orang selatan, Hijaz, Tihamah dan lainnya, bergerak menuju Karbala,…maka orang-orang Islam memenuhi kota itu, mengepung dinding-dindingnya, dan masuk ke daerah tersebut dengan paksa. Mereka membunuhi hampir seluruh penduduknya di pasar-pasar dan di rumah-rumah. Mereka menghancurkan kubah yang ada di atas makam al-Husein, kubah yang dihiasi dengan zamrud, yakut, dan beragam permata indah lainnya. Mereka merampas semua yang ada di negeri itu seperti uang, senjata, pakaian, kuda, emas, perak, mushaf-mushaf mahal, dan sebagainya. Mereka melakukan penyerbuan itu dengan cepat, sehingga mendekati dhuhur, mereka telah keluar dengan membawa semua harta itu, dan telah membunuhi penduduk sekitar 2000 orang.”
“Weleh weleh, jadi orang Wahabi-Salafi sendiri mengakui fakta tentang pembantaian itu, ya Mbah Kyai, tetapi jumlah korbannya mereka kurangi sehingga hanya 2000 orang, begitukah?” tanya Dullah menyimpulkan.
“Ya watak mereka memang begitu, biasa memutar-balik, memanipulasi, menghapus, menambahi, dan menginterpolasi data dan fakta.”
“Kenapa Wahabi-Sa’ud begitu antipati dengan orang Syi’ah, dan menganggap halal darah orang Syi’ah, Mbah Kyai?” tanya Sukiran tiba-tiba menyela.
“Karena Muhammad ibnu Abdul Wahab menganggap Syi’ah musyrik dan kafir karena menyembah makam imam mereka dan menjadikan Ali ibnu Abi Thalib sebagai wasilah,” kata Guru Sufi memaparkan.
“Woo begitu ya, Mbah Kyai,” sahut Sukiran mengangguk-angguk heran.
“Ya Muhammad ibnu Abdul Wahab dalam Ad-Durar as-Saniyyah,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Telah tegas-tegas menyatakan halalnya darah orang musyrik. Bahkan orang Islam yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, yaitu Khilafah Turki Utsmani, para penyembah kuburan, penyembah orang-orang saleh, pengganti sunnah dengan bid’ah, maka akan menjadi kafir juga. Ibnu Abdul Wahab dalam Nawaqidh al-Islam menyatakan bahwa barang siapa tidak mengkafirkan orang-orang musyrik atau ragu dalam mengkafirkan mereka, atau membenarkan mazhab mereka, maka dia kafir. Ibnu Taimiyyah juga telah berkata, bahwa siapa saja yang memanggil-manggil Ali ibnu Abi Thalib, maka dia benar-benar kafir, dan siapa saja yang ragu untuk mengkafirkannya maka dia juga telah kafir. Jadi orang-orang Syi’ah di Karbala yang dianggap menyembah kubur Imam Husein dijagal habis-habisan karena dianggap telah musyrik.”
“Bahkan dalam Ad-Durar as-Saniyyah, ibnu Abdul Wahab tegas-tegas menyatakan: sesungguhnya aku mengajak kalian kepada tauhid dan meninggalkan syirik kepada Allah. Semua yang ada di bawah tujuh lapis langit ini telah benar-benar musyrik, dan barangsiapa yang membunuh orang musyrik maka dia mendapat durga. Siapa saja yang masuk ke dalam dakwah kami, maka dia memiliki hak dan kewajiban sama dengan kami, dan siapa saja yang tidak masuk bersama kami, maka dia kafir, halal nyawa dan hartanya.”
“Itu pas sekali dengan faham jiwa dan semangat orang-orang badui gurun yang suka menggarong dan menyamun penduduk yang lewat wilayah mereka. Bedanya, Salafi-Wahabi ini merompak dan menyamun serta membunuh dengan mengatas-namakan agama,” kata Dullah berkomentar.
“Karena itu, “ sahut Sufi tua yang sejak tadi diam,”Orang-orang yang menganut faham Salafi-Wahabi, jiwa dan pikiran serta nalurinya tidak akan jauh dari badui gurun.”
“Tapi maaf Mbah Kyai,”sahut Dullah menyela,”Benarkah Nabi Saw pernah meramalkan bakal munculnya kaum sesat dari wilayah Nejd – daerah kelahiran kaum badui – yang terletak di timur kota Madinah seperti dikatakan Mbah Kasyful Majdzub?”
“Jangan terlalu serius bicara soal Salafi-Wahabi, santai saja,” kata Guru Sufi meminta kopi dan makanan ringan dikeluarkan,”Kita minum kopi sambil makan singkong bakar. Nanti soal Salafi-Wahabi, bisa disambung setiap waktu,” kata Guru Sufi meminta Sufi Sudrun untuk mengeluarkan kitab-kitab tentang Wahabi-Salafi dari perpustakaan.
Tak Perduli Bayi, Penduduk Thaif Dijagal Tanpa Ampun
Ketika sedang menikmati kopi dan singkong bakar tiba-tiba Johnson, keponakan Sufi tua datang menyampaikan titipan buku dari penerbit LKiS Jogja kepada Sufi Sudrun. Buku yang ditulis Syaikh Idahram itu ternyata mengupas sejarah berdarah Salafi Wahabi dalam membantai umat Islam. Tentu saja, diskusi jadi makin hangat.
Ketika perbincangan dimulai lagi, Sufi Kenthir yang ditugasi membaca tulisan Muhammad Muhsin al-Amin yang berjudul Kasyf al-Irtiyah mengungkapkan bagaimana setelah melakukan pembantaian di Karbala atas orang-orang Syi’ah, para badui Salafi-Wahabi bergerak dari gurun Najd menuju ke Thaif pada bulan Dzulqa’dah tahun 1217 Hijriyah atau 1803 Masehi. Saat itu Thaif di bawah kekuasaan gubernur Makkah as-Syarif Ghalib, yang sudah menjalin kesepakatan dengan pemuka Salafi-Wahabi. Namun seperti biasa, Salafi Wahabi ingkar. Begitu masuk Thaif, mereka menggiring para ulama untuk menyatakan sumpah setia mengikuti akidah Salafi Wahabi. Ulama yang menolak, pasti terhapus dari daftar hidup manusia.
“Selama menduduki kota Thaif,” kata Sufi Kenthir mengutip tulisan Muhammad Muhsin al-Amin,”Salafi Wahabi membunuh ribuan penduduk, termasuk wanita dan anak-anak. Bahkan yang paling biadab, badui-badui berakhlak bejat itu menyembelih bayi-bayi yang masih di pangkuan ibunya dan membunuhi wanita-wanita hamil. Setelah merampas, merusak, menjagal orang-orang tak bersalah, dan melakukan kebiadaban tak terbayangkan atas umat islam, binatang-binatang rendah penghuni gurun Najd itu bergerak menuju Makkah. Namun mereka berbalik ke Thaif, karena mengetahui saat itu umat Islam sedang menunaikan ibadah haji. Setelah para jama’ah haji kembali ke negeri masing-masing, barulah badui-badui Salafi Wahabi bergerak menuju Makkah.”
“Gubernur Makkah as-Syarif Ghalib tidak kuasa menahan kemarahan badui-badui Salafi Wahabi yang telah sampai di Jeddah. Pada akhir bulan Muharram 1218 Hijriyah, badui-badui biadab itupun masuk Makkah dan menetap di situ selama 14 hari. Selama waktu itu melakukan perusakan dan melakukan pelarangan menziarahi makan nabi-nabi dan makam orang-orang saleh.”
“Coba baca tulisan Mufti Makkah Sayyid Ahmad ibnu Zaini Dahlan!” kata Guru Sufi menunjuk Sufi Majnun untuk membaca kitab berjudul Umara ul-Baladil Haram.
Sufi Majnun dengan menahan perasaan membaca tulisan Sayyid Ahmad ibnu Zaini Dahlan itu dengan suara sesekali tersekat, yang intinya sebagai berikut:
“Ketika memasuki Thaif, Salafi Wahabi melakukan pembunuhan menyeluruh, termasuk orang tua, kanak-kanak, tokoh masyarakaty dan pemimpinnya, membunuhi golongan syarif dan rakyat biasa. Mereka menyembelih hidup-hidup bayi-bayi yang masih menyusu di pangkuan ibunya, membunuh umat Islam di dalam rumah-rumah dan kedai-kedai. Jika mereka mendapati satu jamaah umat Islam mengadakan kajian al-Qur’an, mereka cepat-cepat membunuhnya sehingga tidak tersisa lagi orang-orang dari kalangan mereka. Sewaktu memasuki masjid, mereka membunuhi orang-orang yang sedang rukuk dan sujud, merampas uang dan harta mereka. Mereka menginjak-injak al-Qur’an, kitab-kitab Imam Bukhari, Muslim, kitab fiqih, nahwu, dan kitab-kitab lain yang mereka robek-robek dan mereka tebarkan di jalan-jalan. Mereka merampas harta umat Islam, lalu membagi-bagikan di antara mereka seperti pembagian ghanimah dari harta orang kafir.”
Sufi Sudrun membaca tulisan Syaikh Idahram yang mengutip tulisan Dr Muhammad ‘Awadh al-Khatib dalam buku berjudul Shafahat min Tarikh al-Jazirah al-Arabiyah al-Hadits tentang bagaimana badui-badui Salafi Wahabi membunuh mereka yang menolak ajakan dakwahnya. Salafi Wahabi juga mengumpulkan mereka yang berusaha lari ke satu tempat untuk dipenggal, dan sebagian lagi digiring ke lembah Wadi Aluj, yang jauh dari hunian dalam keadaan telanjang antara laki-laki dan wanita. Mereka menggeledah dan menjarah harta benda penduduk. Setelah merampas harta penduduk dan membunuh mereka, badui-badui Salafi Wahabi meninggalkan Thaif, membagi rata hasil rampasan dan kemudian mengirimkan seperlima bagian kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
“Catatan sejarah tentang kebiadaban Salafi Wahabi itu,” lanjut Sufi Sudrun dengan suara ditekan tinggi,”Ternyata dibenarkan oleh sejarawan Wahabi, Syaikh Abdurrahman al-Jibrati dalam buku berjudul Tarikh ‘Ajaib al-Atsar fi at-Tarajum wa al-Akhbar. Dalam buku itu Syaikh Abdurrahman al-Jibrati menyatakan bahwa orang-orang Wahabi menyerang Thaif dan memerangi penduduknya selama tiga hari, sampai semua takluk. Orang-orang Wahabi mengambil alih kota itu dan memerintahnya dengan keras. Mereka membunuhi kaum lelakinya, menyandera perempuan dan anak-anaknya. Begitulah pandangan Wahabi terhadap orang-orang yang mereka perangi.”
“Biadab! Bejat! Binatang!” seru Dullah dengan dada naik turun menahan perasaan,” Bagaimana kawanan hewan buas yang tidak memiliki hati nurani itu bisa menepuk dada sambil menyatakan bahwa merekalah yang paling benar dan haqq dalam menjalankan agama. Jelas itu bukan kelakuan orang Islam. Rasulullah Saw tidak pernah mencontohkan kebiadaban seperti itu.”
“Benar kang,” sahut Sukiran dengan mata berkilat-kilat menimpali,”Mereka itu mesti penganut ajaran Musailamah al-Kadzab yang membalas dendam kepada umat Islam. Sungguh berbahaya agama baru dari Najd yang sesungguhnya adalah agama lama bikinan Musailamah.”
“Perhatian! Perhatian!” seru Sufi tua mengangkat tangan kanan ke atas,”Dilarang emosi dan marah-marah. Kepala boleh panas, hati harus tetap dingin. Mohon sabar, kita masih akan membahas kebiadaban badui-badui biadab itu pada perbincangan lanjutan.”
“Kebiadaban di mana lagi, pakde?” seru Dullah ingin tahu.
“Di mana lagi kalau bukan di Makkah dan Madinah?” sahut Sufi tua.
“Apa?” sergah Dullah dan Sukiran bersamaan,”Wahabi melakukan kebiadaban di Haramain?”
Jama’ah Haji Dibantai, Laki-laki Dibunuh, Anak-anak Disandera
Kebiadaban kawanan badui Salafi Wahabi di Thaif membuat Dullah dan Sukiran geleng-geleng kepala dan saling pandang satu sama lain. Johson yang duduk di samping Sufi tua garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Suasana hening. Tapi sejenak kemudian, Dullah bertanya,”Benarkah seperti yang dikatakan pakde, orang-orang badui biadab itu melakukan kebiadaban di Haramain?”
“Itu benar Dul,” sahut Sufi Kenthir,”Menurut sejarawan Abdullah ibnu Asy-Syarif Husain dalam kitab Sidqu al-Akhbari fi Khawariji al-Qarni ats-Tsani ‘Asyar, setelah menebar kebinasaan di Thaif pada bulan Dzulqa’dah kawanan badui Wahabi asal Nejd itu memasuki Makkah al-Mukarramah pada bulan Dzulhijjah tahun 1218 Hijriyah (1803 Masehi).”
“Apakah mereka melakukan kebiadaban di bulan suci itu?” tanya Dullah penasaran.
“Menurut tulisan Abdullah ibnu asy-Syarif Husain, badui-badui tak beradab itu membunuh ribuan umat Islam yang sedang menunaikan ibadah haji,” sahut Sufi Kenthir.
“Astaghfirullah!” sahut Dullah dan Sukiran dan Johnson bersamaan.
“Itu bukan fitnah,” sahut Sufi Kenthir,”Sebab sejarawan Wahabi sendiri, Utsman ibnu Abdullah ibnu Bisyr al-Hanbali an-Najdi dalam kitab ‘Unwan al-Majd fi Tarikh Najd memaparkan bagaimana pembantaian terhadap jama’ah haji itu dilakukan Wahabi. Hanya dia mencatat peristiwa itu terjadi pada bulan Muharram tahun 1220 Hijriyah (1805 Masehi). Kitab Tarikh al-Aqthar al-Arabiyah al-Hadits menuturkan bahwa yang dibantai Wahabi bukan hanya jama’ah haji, tapi penduduk Makkah al-Mukarramah juga. Bahkan banyak yang sekedar disiksa dan kemudian dipotong tangan dan kakinya karena menolak dakwah Wahabi. Para ibu warga Makkah al-Mukarramah dipaksa menjual hartanya untuk menebus bayi dan anak-anaknya yang masih kecil yang dijadikan sandera Wahabi. Dan seperti yang dilakukan di Thaif, kawanan badui Wahabi itu menjarah dan merampas semua harta dan makanan milik warga Makkah al-Mukarramah. Akibatnya, terjadi kelaparan. Anak-anak dan orang-orang tua mati kelaparan, mayatnya bergelimpangan di mana-mana. Badui Wahabi ketawa-ketiwi mengusung harta benda penduduk yang mereka anggap sebagai ghanimah.”
“Sejarawan Wahabi Utsman ibnu Abdullah ibnu Bisyr al-Hanbali an-Najdi dalam kitab ‘Unwan al-Majd fi Tarikh Najd menyatakan bahwa di tengah suasana Makkah al-Mukarramah krisis pangan, orang-orang Wahabi menjual daging keledai, daging anjing dan bangkai hewan kepada penduduk dengan harga tinggi. Banyak di antara mereka yang diam-diam meninggalkan kota Makkah karena takut. Saat itu bangkai manusia yang membusuk berserakan di mana-mana.”
“Teror badui-badui biadab atas Makkah al-Mukarramah berlangsung selama enam tahun setengah. Selama rentang waktu horor itu, badui-badui Wahabi melakukan pembunuhan-pembunuhan dan pemaksaan-pemaksaan kepada sisa-sisa penduduk agar menganut ajaran Wahabi. Pekuburan dan tempat-tempat bersejarah dihancurkan. Buku-buku selain Qur’an dan hadits, dibakar. Perayaan Maulid Nabi dilarang keras. Membaca Khasidah Barzanji dilarang. Pembacaan mau’idzah hasanah sebelum khotbah Jum’at dilarang. Demikian catatan sejarah yang ditulis Yusuf al-Hijiri dalam al-Baqi: Qishah Tadmir al-Sa’ud li al-Atsar al-Islamiyah fi Hijaj.”
“Maaf kang,” sahut Johnson menyela,”Saya kok seperti mendengar kisah penaklukan Jenghiz Khan yang ditandai pembantaian-pembantaian biadab di luar kemanusiaan. Apa ciri badui itu memang seperti itu? Soalnya, Jenghiz Khan itu kepala suku badui di padang rumput dan gurun Mongolia yang tidak cukup mengenal peradaban.”
“Ada kesamaan dan ada perbedaan,” sahut Sufi Kenthir,”Persamaannya, kawanan Wahabi di bawah Ibnu Sa’ud dan pasukan Mongol di bawah Jenghiz Khan adalah sama-sama badui tak beradab. Bedanya, badui Wahabi mengibarkan bendera Islam dan menganggap tindakannya sebagai amalan suci membersihkan agama Allah dari bid’ah dan khurafat. Jadi di mana pun mereka berada, mereka selalu berteriak “Ana Khoiru minhu” – “Aku lebih baik dari dia” sambil menebar kebinasaan pada orang-orang yang dianggap kafir dan musyrik.”
“Charles Allen dalam God’s Terrorist, The Wahhabi Cult and The Hidden Roots of Modern Jihad menuturkan bagaimana pada tahun 1803-1804 Masehi golongan Wahabi menyerbu Makkah dan Madinah, membunuhi para syaikh dan penduduk yang tidak bersedia mengikuti ajaran Wahabi. Perhiasan dan perabot indah yang mahal yang disumbangkan oleh para raja dan pangeran dari seluruh dunia untuk memperindah Masjidil Haram, makam Nabi Muhammad Saw, makam para wali dan makam orang-orang saleh di Makkah dan Madinah, dijarah dan dibagi-bagikan di antara kawaban Wahabi dan tokoh-tokohnya. Dunia Islam guncang ketika terdengar makam Nabi Saw dinodai dan dijarah, rute jama’ah haji ditutup, segala bentuk peribadatan yang tidak sesuai Wahabi dilarang.”
“Kebenaran tulisan Charles Allen itu bisa dirujuk pada fakta sejarah yang ditulis sejarawan Wahabi Utsman ibnu Abdullah ibnu Bisyr al-Hanbali an-Najdi dalam kitab ‘Unwan al-Majd fi Tarikh Najd dan tulisan sejarawan Ja’far ibnu Sayyid Ismail al-Madani al-Barzanji dalam Nuzhatu an-Nazhirin fi Tarikhi Masjidi al-Awwalin wal Akhirin yang menggambarkan bagaimana setelah menguasai Makkah al-Mukarramah, orang-orang Wahabi pada bulan Dzulqa’dah 1220 Hijriyah (1805 Masehi) menguasai Madinah. Mereka menggeledah Masjid Nabawi dan kediaman Nabi Saw. Harta benda sumbangan para raja dijarah. Kekejaman yang ditunjukkan di Karbala, Thaif dan Makkah al-Mukarramah dipamerkan lagi di Madinah, sehingga banyak penduduk melarikan diri termasuk Syaikh Ismail al-Barzanji dan Syaikh Dandrawi. Seperti kubah pekuburan Baqi’, kubah Ahlul Bait serta pekuburan kaum muslimin dihancurkan. Lampu-lampu yang menghiasi kota Madinah diambil, sebagian dihancurkan dan yang lain dibagi-bagikan kepada pengikut Wahabi. Madinah kemudian ditinggalkan dalam keadaan sunyi dan sepi, selama beberapa hari tanpa adzan, tanpa iqamah dan tanpa shalat.”
Komentar
Posting Komentar